Tarsius atau disebut juga dengan Tangkasi adalah primata yang memilliki julukan “fosil hidup”. Mamalia ini muncul pertama kali pada zaman eosin denga karakter yang khas yakni kepalanya yang bundar mampu memutar hampir 360 serta dapat melihat ke belakang tanpa mengubah posisi tubuh.
Ciri-ciri umum Tangkasi yakni memiliki mata besar, telinga lebar, serta rambut tebal dan halus. Kaki adalah bagian terpenting dari genus Tarsius. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan atau bahkan panjang tubuhnya.
Tangkasi merupakan monyet terkecil di dunia yang terdiri dari 11 spesies di dunia, hanya satu spesies saja yang tidak ada di Indonesia yang terdiri dari 9 genus Tarsius dan 1 genus Cephalophacus. Kesepuluh spesies tersebut adalah (1) Tarsius tarsier (=spectrum), (2) Tarsius fuscus, (3) Tarsius dentatus, (4) Tarsius pelengensis, (5) Tarsius sangirensis, (6) Tarsius tumpara, (7) Tarsius pumilus, (8) Tarsius lariang, (9) Tarsius wallacei, (10) Cephalophacus bancanus.
Taksonomi Tangkasi masih belum stabil sehingga potensi penemuan spesies baru masih memungkinkan. Penemuan spesies terbaru dari genus Tarsius telah dipublikasikan oleh Jurnal Primate Conservation pada Mei 2017. Dalam publikasi tersebut, terdapat dua temuan Tarsius baru dari semenanjung Sulawesi Utara, yakni Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai yang merupakan Cryptic Species (Gambar 1).
Gambar 1. Tarsius spectrumgurskyae (kiri) dan Tarsius supriatnai (kanan). Ilustrasi oleh Stephen D. Nash. |
Cryptic Species adalah spesies yang tersembunyi diantara spesies lainnya. Pada kasus Tarsius ini, morfologi Tarsius jenis baru identik dengan jenis yang lain namun secara genetik berbeda jauh. Adanya penemuan Tarsius jenis baru tersebut didasarkan sejarah biogeografi dan tingkat endemisitas biota di Sulawesi. Penemuan spesies baru tersebut juga didukung dengan data genetik terbaru sehingga menghasikan taksonomi Tarsius yang lebih baik dengan tujuan untuk konservasi Tarsius yang mengalami krisis.
Gambar 2. Semenanjung Sulawesi Utara, berisi informasi distribusi dan poin sampling. |
Tarsius spectrumgurskyae
Nama Lokal: Tangkasi, Wusing
Distribusi: Berdasarkan data survei lapangan, spesies ini ditemukan di Tangkoko bagian utara hingga Suwawa di bagian barat Taman Nasional Bone (Gambar 2). Berdasarkan data rekaman suara akustiknya, spesies ini juga ditemukan di Ratatotok dan Molibagu serta ditemukan juga di Labanu dan Duasaudara.
Morfologi: T. spectrumgurskyae menyerupai T. supriatnai dan T. pelengensis, namun warna paha lebih terlihat kuning dan cerah. Ciri pembeda dengan genus Tarsius yang lain yakni memiliki ukuran kecil pada bagian tonjolan tanpa rambut di bagian dasar telinga serta kaki belakang relatif lebih pendek. Adapun morfometri berdasarkan data populasi liar menunjukkan bahwa berat tubuh serta panjang ekor memiliki rentang yakni berat badan (betina = 95−119 gram; jantan = 104−126 gram), panjang ekor (betina = 213−268 mm; jantan = 220−258). Adapun untuk morfometri lebih lengkap silahkan dilihat di Tabel 1.
Gambar 3. Tarsius spectrumgurskyae. |
Tarsius supriatnai
Nama lokal: Mimito
Distribusi: Dijumpai di semenanjung utara mulai dari barat Gorontalo setidaknya sejauh Sejoli, dan mungkin sejauh Ogatemuku, tapi tidak sampai Tinombo.
Morfologi: Secara morfologi, Tarsius supriatnai memiliki kemiripan dengan T. spectrumgurskyae, namun perbedaanya terletak pada pangkal telinga di bagian tak berambut secara umum ukuranya lebih besar, kemudian kaki belakang lebih pendek, serta memiliki ekor panjang yang panjang, dan ukuran jari tengah lebih panjang. Adapun morfometri berdasarkan data populasi liar menunjukkan bahwa berat tubuh serta panjang ekor memiliki rentang yakni berat badan (betina = 104−114 gram; jantan = 135 gram), panjang ekor ( betina = 232−243 mm; jantan = 246 mm). Adapun untuk morfometri lebih lengkap silahkan dilihat di Tabel 1
Gambar 4. Tarsius supriatnai. |
Tabel 1. Morfometri Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai
Genetik Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai
Informasi genetik dari spesies baru ini berdasarkan penelitian Driller et al (2015) yang melakukan penelitian terhadap sejarah filogenetik tarsius di Sulawesi berdasarkan populasi Tarsius yang ada di pulau tersebut. Cakupan populasi yang berada di Semenanjung Sulawesi Utara yakni Ogatemuku (OGA), Labanu (LAB), dan Duasaudara (DUA) (Gambar 5.) Marka genetik yang digunakan yakni lima gen autosomal (ABCA1, ADORA3, AXIN1, RAG1, dan TTR) dan satu marka gen SRY yang diwariskan secara paternal.
Gambar 5. Filogenetik dan estimasi waktu divergensi Tarsius di Sulawesi. |
Hasil data yang konstruksi pohon filogenetik dengan menggunakan ML dan Bayesian menunjukkan bahwa pada “nodus g” (yang diberi bintik merah di gambar 5) mengalami divergensi dimana populasi DUA terpisah sedangkan populasi OGA dan LAB masih satu clade. Berdasarkan Tabel 2, nodus g memiliki waktu estimasi divergensi 0,3 mya (million years ago). Berdasarkan sejarah divergensi genetik inilah maka populasi Tarsius di Duasaudara (DUA) adalah Tarsius spectrumgurskyae, sedangkan populasi di Ogatemuku (OGA) dan Labanu (LAB) adalah Tarsius supriatnai.
Tabel 2. Waktu estimasi divergensi Tarsius
Penulis: Mh. Badrut Tamam, M. Sc.
Email: mh.badruttamam@gmail.com
Referensi:
- Driller, C., S. Merker, D. Perwitasari-Farajallah, W. Sinaga, N. Anggraeni and H. Zischler. 2015. Stop and go–waves of tarsier dispersal mirror the genesis of Sulawesi Island. PLoS ONE 10 (11).
- Myron Shekelle, Colin P. Groves, Ibnu Maryanto, and Russell A. Mittermeier. 2017. Two New Tarsier Species (Tarsiidae, Primates) and the Biogeography of Sulawesi, Indonesia. Primate Conservation 31 (1):1-9.
- Jatna Supriatna dan Rizki Ramadhan. 2016. Pariwisata Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Leave a Reply