Manusia merupakan spesies yang sangat merasa berkuasa dan diktator di atas muka bumi. Kehadiran awal manusia di muka bumi bisa dilihat dari hasil fosil yang didapatkan, seperti fosil Pithecanthropus mojokertensis dari zaman plestosen awal yang berumur sekitar 1,9 juta tahun yang lalu. Kediktatoran manusia terhadap bumi terus berlanjut hingga zaman modern pada saat sekarang ini. Manusia mulai menebangi pohon di hutan untuk pemukiman, pertanian, perkebunan dan tambang. Hutan yang semula hijau kemudian menjadi tandus, sedangkan hutan merupakan pusat biodiversitas tertinggi di dunia dan merupakan tempat hidup bagi spesies-spesies lain. Oleh sebab itu, spesies-spesies yang bertahan hidup di hutan mulai kehilangan tempat hidupnya karena manusia terus menginvasi bumi yang merasa milik manusia itu sendiri.
Beberapa spesies yang terusik karena invasi manusia termasuk ke dalam grup serangga. Spesies tersebut kembali menginvasi pemukiman tempat tinggal manusia. Mereka mengendap-endap ke dalam rumah, masuk melalui saluran got, berdiam diri di dapur, belakang lemari, di atas loteng, di bawah dipan dan di tempat-tempat lembab lainnya untuk mencari tempat bernaung dan bertahan hidup. Populasi yang terus berkembang secara cepat dan individu-individunya terus meginvasi dan membanjiri pemukiman kita, mereka lalu kita sebut sebagai ‘hama’ – Spesies yang kehadiran dan kemunculannya tidak kita harapkan. Spesies-spesies tersebut bisa jadi semut, kecoak, nyamuk, tikus, dan lain-lain.
Manusia kemudian mulai memusnahkan kehadiran mereka perlahan-lahan dengan racun yang disebut dengan insektisida, lalu menyemprotkan racun tersebut hingga masuk ke sistem saraf dan mereka mulai meregang nyawa. Sebagai hasil teori seleksi alam Darwin, spesies yang paling kuat akan bertahan dan spesies yang lemah akan perlahan mati. Kita tidak pernah sadar, saat kita membunuh mereka semua secara tidak terkontrol, kita telah menciptakan individu-individu yang lebih kuat untuk bertahan. Lalu kita membunuh individu kuat itu dan menyisakan individu yang lebih kuat lagi, pola itu terus berkembang, hingga seperti itu terus menerus dan menyisakan individu yang semakin kuat.
Salah satu contoh dari hasil ilustrasi hasil penelitian Rahayu et al. (2017) tentang kasus resistensi kecoak di Indonesia. Ilustrasinya seperti berikut; ketika kita hanya butuh satu sendok saja untuk membunuh serangga rentan terhadap insektisida, kita butuh sekitar 100-1000 sendok untuk membunuh serangga yang telah tahan terhadap insektisida – serangga dengan gen-gen kuat hasil seleksi insektisida itu sendiri. Kita bisa bayangkan 10 tahun lagi ketika yang tersisa hanya serangga-serangga kuat, insektisida yang kita buat tidak akan ampuh lagi. Apakah kita telah berinovasi mencari insektisida baru untuk mengatasi masalah tersebut?. Jika tidak, maka serangga-serangga tersebut akan terus menginvasi pemukiman kita sebagai bentuk menuntut balas atas invasi yang telah kita lakukan dan tempat tinggal mereka yang telah kita renggut. Telah siapkah kita dengan prediksi hal tersebut? ketika serangga mencoba mengambil alih kediktatoran manusia.
Penulis: Robby Jannatan
Referensi:
Rahayu, R., I. Ahmad, E. Sri Ratna, M. I. Tan and N. Hariani. 2012. Present Status of Carbamate, Pyrethroid dan Phenylpyrazole Insecticide Resistance to German Cockroach, Blattella germanica (Dictyoptera: Blattellidae) in Indonesia. Journal of Entomology. 9 (6): 361-367.
Leave a Reply