Indonesia merupakan negara dengan mega biodiversity. Menurut Global Biodiversiry Index (2022), Indonesia menempati peringkat kedua negara dengan biodiversitas tertinggi di dunia dengan skor 418,78 (dibawah Brasil) [1]. Keanekaragaman yang tinggi memungkinkan masih terdapat banyak flora dan fauna yang belum dieksplorasi. Kita memerlukan metode yang akurat dalam identifikasi spesies untuk eskplorasi biodiversitas. DNA barcoding terbukti menjadi metode yang ampuh dalam identifikasi tingkat spesies [2]. Dalam artikel ini, kita akan menggali lebih dalam terkait DNA barcoding, mulai dari definisi, sejarah, dan alur kerja .
Apa itu DNA Barcoding?
DNA barcoding termasuk metode identifikasi spesies tingkat molekuler. Idetifikasi ini dilakukan dengan menggunakan gen yang sangat terkonservasi. Jadi, apa sebenarnya DNA barcoding itu? Ini merupakan metode identifikasi spesies berdasarkan urutan DNA tertentu dari suatu organisme [3]. Sementara itu, Wilson et al. (2018) menjelaskan bahwa DNA barcoding mengacu pada penggunaan sekuens DNA yang pendek dan terstandardisasi sebagai penanda untuk mengenali spesies [4]. Singkatnya, DNA barcoding berfokus pada penggunaan informasi dari satu atau beberapa wilayah dalam urutan DNA untuk mengidentifikasi spesies.
Wilayah urutan DNA tertentu yang digunakan sebagai metode identifikasi disebut DNA barcode. DNA barcode yang digunakan sebagai penanda harus memenuhi beberapa kriteria: mengandung variabilitas dan divergensi genetik tingkat spesies yang signifikan, primer PCR yang universal sehingga mudah diurutkan, urutan DNA pendek (400–600 bp) untuk memfasilitasi kemampuan ekstraksi dan amplifikasi [5]. Wilayah DNA spesifik yang banyak digunakan, antara lain rbcL, matK, trnH-psbA, dan ITS2 [6].
Sejarah Singkat Penggunaan DNA Barcoding
DNA barcoding pertama kali usulkan oleh Hebert dkk. (2003) menggunakan gen mitokondria sitokrom oksidase subunit I (COI) sebagai penanda untuk idenfikasi hewan [5]. Istilah “DNA barcoding” diperkenalkan sebagai urutan gen pendek wilayah DNA (terstandarisasi) yang digunakan sebagai penanda identifikasi spesies. Segera setelah itu, DNA barcoding banyak digunakan peneliti untuk mengidentifikasi berbagai organisme dari kelompok Plantae, Fungi, Archaea, Bakteri, Virus, Protista, dan Ciliates [2]. Berkat kesuksesan penelitian tersebut membuka pintu baru dalam bidang taksonomi.
Salah satu kontribusi paling signifikan dari DNA barcoding adalah sebagai alat penegak hukum lingkungan. Ini secara aktif telah digunakan untuk mencegah perdagangan ilegal keanekaragaman hayati [7]. Selain kontribusi tersebut, DNA barcoding terus digunakan dalam berbagai bidang, seperti sarana untuk mengidentifikasi spesies yang dilindungi, spesies invasif, dan spesies yang terancam punah, serta untuk menguji identitas dan kemurnian produk botani [6].
Seiring meningkatnya proyek taksonomi menggunakan DNA barcoding, ada inisiatif global yang membantu peneliti dalam mengatur databasenya. Sebuah tonggak sejarah tercipta ketika diluncurkannya proyek International Barcode of Life (iBOL). iBOL merupakan proyek internasional (diikuti oleh 25 negara) yang bertujuan untuk membangun perpustakaan refrensi DNA barcode yang akan menjadi dasar sebagai sistem identifikasi [3].
Alur Kerja Menggunakan DNA Barcoding untuk Identifikasi Organisme Tingkat Spesies
Indetifikasi spesies menggunakan DNA barcoding tidaklah sederhana. Ini membutuhkan beberapa proses hingga akhirnya suatu organisme dapat diidentifikasi. Prosedur ini meliputi pengambilan sampel, ekstraksi DNA sampel, pemilihan gen barcode untuk amplifikasi dengan primer universal, amplifikasi dengan PCR, sekuensing menggunakan Sanger atau High-throughput sequencing [2], dan analisis pencocokan sekuens barcode DNA sampel dengan perpustakaan barcode DNA [6]. Basis data refrensi sebagai pembanding barcode DNA dapat diperoleh dari Barcode of life data system (BOLD) dan Genbank [4].
Kesimpulan
DNA barcoding merupakan metode identifikasi spesies secara molekuler dengan menggunakan gen penanda yang terstadarisasi. Wilayah gen yang digunakan sebagai penanda haruslah mengandung variabilitas dan divergensi genetik tingkat spesies yang signifikan, primer PCR yang universal, dan urutan DNA pendek (400–600 bp). Selain untuk identifikasi spesies, DNA barcoding juga digunakan sebagai sarana mengidentifikasi spesies yang dilindungi, spesies invasif, dan spesies yang terancam punah, serta untuk menguji identitas dan kemurnian produk botani.
Referensi:
[1] Global Biodiversity Information Facility (GBIF) .2023. https://www.gbif.org/. Accessed on October 6, 2023.
[2] Antil, S., Abraham, J. S., Sripoorna, S., Maurya, S., Dagar, J., Makhija, S., Bhagat, P., Gupta, R., Sood, U., Lal, R., & Toteja, R. 2022. DNA barcoding, an effective tool for species identification: A Review. Molecular Biology Reports. 50(1): 761–775.
[3] Trivedi, S., H. Rehman., S. Saggu., C. Panneerselvam., S.K. Ghosh. 2018. DNA barcoding and molecular phylogeny. Springer International.
[4] Wilson, J.-J., Sing, K.-W., & Jaturas, N. 2019. DNA barcoding: Bioinformatics workflows for Beginners. Encyclopedia of Bioinformatics and Computational Biology. 985–995.
[5] Hebert, P. D. N., Cywinska, A., Ball, S. L., & deWaard, J. R. 2003. Biological identifications through DNA barcodes. Proceedings of the Royal Society B. Biological Sciences. 270(1512): 313–321.
[6] Kress, W. J., Liu, A. Z., Newman, M., & Li, Q.-J. 2005. The molecular phylogeny of Alpinia (Zingiberaceae): a complex and polyphyletic genus of gingers. American Journal of Botany. 92(1): 167–178.
[7] Asis, A. M., Lacsamana, J. K., & Santos, M. D. (2016). Illegal trade of regulated and protected aquatic species in the Philippines detected by DNA barcoding. Mitochondrial DNA. Part A, DNA mapping, sequencing, and analysis, 27(1), 659–666.
Leave a Reply