Organisme eukariotik secara umum memilliki sel dengan set kromosm diploid (2n). Namun dengan mekanisme efek poliploidisasi akan menyebabkan jumlah set kromosom menjadi berbeda dengan sel induknya. Organisme yang bersifat diploid (2n) ketika diberi efek poliploidi, maka efek yang timbul adalah terjadinya perubahan pada set kromosom antara lain bisa berupa triploid (3n), tetraploid (4n), pentaploid (5n), heksaploid (6n), dan seterusnya (Ramsey & Schemske, 1998).
Poliplodi memiliki penanan penting dalam mekanisme evolusi. Sekitar 70% tumbuhan angiosperma mengalami proses poliplodisasi dan lebih tinggi lagi sekitar 95% terjadi pada tumbuhan paku-pakuan (Soltis&Soltis, 1999). Menurut Gupta (2007), poliplodi dikelompokkan menjadi autopoliploidi dan allopoliploidi. Namun, kedua kelompok tersebut masih dapat dibagi lagi menjadi empat kelas yakni autopoliploidi, alloploidi, alloploidi segmental, autoalloploidi/amphiploidi.
Pengertian autoploliploidi sendiri adalah kelipatan jumlah kromosom yang berasal dari genom spesies yang sama. Autoploliploidi memiliki genom yang identik dengan kromosom-kromosom aslinya (Gupta, 2007). Sementara untuk pengertian alloploidi adalah kelipatan jumlah kromosom yang berasal dari genom spesies yang berbeda (Liu et al., 2003) Autoploliploidi dapat terjadi secara alami akibat adanya respon tertentu seperti stres dan faktor usia (Zimmet&Ravid, 2000). Namun, autoploliploidi dapat terjadi dengan cara buatan yakni dengan pemberian senyawa antimitotik seperti kolkisin, vinkristin, vinblastin, vinoreblin, vindesin, vinflunin, colcemid, podophyllotoxin, dan halichondrin B. Senyawa-senyawa tersebut mampu mendepolimerasi mikrotubul pada saat peristiwa pembelahan sel (Gambar 1) (Choudhury et al., 1983; Calligaris et al., 2010).
Senyawa antimitotik yang sering digunakan dalam proses poliploidisasi adalah kolkisin yang merupakan senyawa alkaloid yang berasal dari umbi tanaman berbunga famili Liliaceae yang dikenal sebagai rumput-rumputan yang tumbuh pada musim gugur (Colchicum autumnale L.). Kolkisin sering dipakai untuk pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru. Kolkisin dapat menyebabkan beberapa tanaman menghasilkan bunga atau umbi yang lebih besar, walaupun efeknya tidak dapat diperkirakan, namun hasil poliploidisasi sering menunjukkan efek peningkatan terhadap sifat fenotip suatu tanaman (Głowacka et al., 2009).
Gambar 1. (a) Senyawa-senyawa antimitotik yang mendepolimerisasi mikrotubul, (b) siklus polimerisasi dan depolimerisasi mikrotubul (Calligaris et al., 2010). Klik gambar untuk memperbesar.
Berbagai macam tanaman yang telah diinduksi menjadi poliploidi dengan cara pemberian kolkisin biasanya memiliki sifat ukuran lebih besar dan cepat tumbuh. Kolkisin dapat diaplikasikan dengan berbagai cara. Di setiap perlakuan, pembelahan sel pada meristem titik tumbuh harus terkena pengaruh perlakuan tersebut. Apabila perlakuan yang diberikan tidak tepat, maka hanya sebagian jaringan yang terpengaruh dan poliploidi tidak terjadi di seluruh bagian tanaman. Benih atau bibit dapat direndam dengan larutan kolkisin atau kolkisin dapat diaplikasikan hanya pada titik tumbuh tanaman (Liu et al., 2009). Mekanisme kerja kolkisin dengan cara mengikat dimer β-tubulin dan menghambat perakitan mikrotubulus, namun kolkisin tidak menghambat kerja mikrotubulus yang sudah terakit. Sehingga efek yang terjadi adalah penggandaan kromosom dalam sel akibat kegagalan mikrotubul menarik kromosom menuju ke kutub (Burns, 1992).
Beberapa senyawa lain yang bersifat antimitotik adalah alkaloid berupa vinkristin dan vinblastin. Kedua senyawa tersebut mampu mempengaruhi parakristalin pada struktur tubulin (Kruczynski & Hill, 200; Calligaris et al., 2010). Vinkristin dan vinblastin sebagai contoh dapat diperoleh dari tumbuhan tapak dara (Catharanthus roseus) (Pietrosiuk et al., 2006). Pada awalnya senyawa ini digunakan sebagai obat seperti kanker dengan cara menghambat pembelahan sel-sel kanker (Pereira et al., 2010), namun senyawa ini dapat diaplikasikan untuk proses poliploidisasi pada tanaman.
Dalam artikel ini akan diulas mengenai contoh induksi poliploidi bawang merah (Allium ascalonicum L.) dengan pemberian kolkisin 0,05%. Proses diawali dengan merendam umbi bawang merah dengan menggunakan air sebagai kontrol dan kolkisin 0,05% selama 24 jam. Setelah dilakukan perendaman maka terjadi perbedaan secara morfologis pada akar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang mana pada perlakuan kontrol akar mengalami elongasi sementara akar yang direndam dengan kolkisisn mengalami pemendekan dan ujung menggelembung. Penggelembungan akar tersebut dikarenakan adanya peristiwa mitosis namun kurang diimbangi dengan adanya sitokinesis.
Gambar 2. Perlakuan kontrol (kiri) dan perlakuan dengan kolkisin (kanan).
Klik gambar untuk memperbesar
Selanjutnya untuk membuktikan sel pada akar bawang merah tersebut mengalami poliploidi dapat dilakukan dengan menggunakan metode preparat pejetan seperti yang saya ulas sebelumnya (klik di sini). Hasil yang diperoleh adalah sel bawang merah tersebut mengalami poliploidi seperti yang terdapat pada Gambar 3. Pada gambar tersebut, tahapan-tahapan mitosis pada sel kontrol dan yang direndam dengan kolkisin 0,05% mengalami perbedaan terutama pada fase prometafase dan metafase. Berdasarkan jumlah kromosom, sel bawang merah memilki jumlah kromoson 16 (2n) dan setelah mengalami poliploidi, jumlah kromosom menjadi 32 (4n) atau disebut tetraploid (Gambar 4).
Gambar 3. Perbandingan tahapan fase-fase mitosis antara perlakuan kontrol (atas) dan perlakuan dengan kolkisin (bawah). Klik gambar untuk memperbesar.
Gambar 4. Tetraploid (4n = 32) sel bawang merah hasil induksi kolkisin
Leave a Reply