Arsip

Kategori

Mengenal Etnobiologi: Kajian Kearifan Lokal ke Ilmu Pengetahuan

Etnobiologi adalah suatu multidisiplin ilmu dari ilmu sosial dan sains. Seperti yang didefinisikan oleh Iskandar (2016), etnobiologi adalah evaluasi ilmiah terhadap pengetahuan masyarakat tradisional tentang biologi yang meliputi pengetahuannya tentang hewan, tumbuhan, dan lingkungan alam.

Istilah “etnobiologi” sendiri berasal dari dua kata yaitu “etno”, yang mengacu pada kelompok etnis, budaya, atau masyarakat tradisional, dan ‘Biologi’, yang berarti ilmu yang mempelajari kehidupan. Etnobiologi secara holistik mengkaji aspek sains dan sosial yang mengintegrasikan sistem sosial dan faktor lingkungan, sehingga baik aspek sosial maupun lingkungan tidak dikaji secara masing-masing melainkan dalam satu kesatuan.

etnobiologi, etnobotani

Dalam kesehariannya, masyarakat menerapkan praktik dalam kehidupannya berdasarkan pengetahuan lokal atau kearifan lokal. Kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat, yang telah berkembang dari waktu ke waktu, berdasarkan pengalaman empiris yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan ini berakar pada pemahaman praktis dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan selama beberapa dekade atau bahkan berabad-abad.

Studi etnobiologi sering kali menggunakan dua pendekatan utama: emik dan etik. Pendekatan emik menangkap perspektif dan pengetahuan masyarakat itu sendiri, sementara pendekatan etik memberikan evaluasi dan validasi ilmiah oleh para peneliti. Walujo (2009) menekankan bahwa pendekatan emik dan etik bukan tentang bagaimana pengetahuan diperoleh, namun tentang bagaimana pengetahuan tersebut divalidasi. Dalam hal ini, peneliti di bidang Etnobiologi menjadi jembatan yang memvalidasi pengetahuan dari masyarakat secara ilmiah melalui pendekatan penelitian sains.

Sebagai contoh, misalnya Masyarakat di Indonesia kerap kali memanfaatkan daun babandotan (Ageratum conyzoides) sebagai obat luka luar dengan menumbuk atau mengunyah daunnya lalu diaplikasikan pada bagian yang terluka. Hal ini dipercayai sebagai bentuk upaya pengobatan dan mempercepat pemulihan. Selanjutnya, penelitian dari Dash & Murthy (2011) menunjukan bahwa tikus penelitian yang dilukai, akan menunjukkan laju penyembuhan yang lebih cepat ketika diberi ekstrak metanol daun babandoyan tersebut ketimbang tikus yang menjadi kontrol yang dilukai namun tidak diberikan ekstrak.

Atau pohon besar. Ketika ada pohon besar pada suatu area, misalnya beringin (Ficus benjamina), masyarakat pasti akan menganggapnya erat kaitannya dengan hal-hal mistis. Apabila pohon ditebang dapat menyebabkan amarah pada alam atau leluhur (tergantung tentang bagaimana kepercayaannya) yang dapat menyebabkan banjir bahkan longsor kalau musim hujan datang melanda dan kekeringan jika sedang musim panas. Padahal, itu merupakan fungsi ekologis dari pohon sebagai penyimpan air sehingga tidak terjadi banjir dan longsor saat musim hujan dan tetap menjaga ketersediaan air saat musim kemarau. Dengan demikian, peneliti Etnobiologi berperan sebagai jembatan yang menghubungkan pengetahuan tradisional dengan validasi ilmiah.

Etnobiologi menjadi payung keilmuan dan memiliki berbagai cabang ilmu, tergantung aspek yang menjadi bidang kajiannya, misalnya etnobotani apabila berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan, etnozoologi apabila berkaitan dengan pemanfaatan tumbuhan, etnomedisin apabila berkaitan dengan pengobatan, dan etnoekologi apabila berkaitan dengan hubungannya dengan alam dan lingkungan.

 

Referensi:

  1. Dash, G. K., & Murthy, P. N. (2011). Wound healing effects of Ageratum conyzoides Linn. 2(2):382
  2. Iskandar, J. (2017). Etnobiologi dan keragaman budaya di indonesia. Umbara, 1(1): 27-42.
  3. Walujo, EB. 2009. Etnobotani: Memfasilitasi Penghayatan, Pemutakhiran Pengetahuan dan Kearifan Lokal dengan Menggunakan Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan. Prosiding Seminar Etnobotani IV Cibinong Science Center-LIPI:12-20
Reza Raihandhany
Tentang seseorang yang sedang melanjutkan hidupnya.