Tomat adalah salah satu tanaman hortikultura yang paling banyak dikonsumsi di dunia, baik dalam bentuk segar maupun olahan. Cita rasa tomat, terutama tingkat kemanisannya, menjadi faktor utama yang memengaruhi preferensi konsumen dan nilai ekonomi produk ini. Sayangnya, pemuliaan tanaman konvensional sering kali menghadapi kendala dalam meningkatkan kualitas rasa tanpa mengorbankan ukuran atau hasil panen.
Teknologi penyuntingan gen seperti CRISPR menawarkan solusi baru untuk mengatasi tantangan ini. Sebagai alat bioteknologi yang canggih, CRISPR memungkinkan ilmuwan untuk menargetkan dan memodifikasi gen tertentu secara presisi. Dengan pendekatan ini, para peneliti dapat meningkatkan sifat tertentu tanpa memengaruhi sifat lain, membuka peluang baru untuk perbaikan tanaman yang lebih efisien. Salah satu inovasi terbaru adalah Peneliti di China berhasil menemukan cara mendapatkan buah tomat lebih manis dengan memotong gen pada tomat dengan CRISPR gene editing [1]. Dengan memotong gen ini, peneliti memperoleh buah tomat lebih manis, tanpa efek samping kepada tanamannya.
Apa itu CRISPR?
CRISPR adalah akronim dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats. CRISPR sejatinya adalah mekanisme pertahanan sel bakteri terhadap invasi materi genetik DNA asing yang masuk ke dalam sel bakteri, yang umumnya di alam materi genetik asing ini diintroduksikan oleh bakteriofag kepada bakteri. Bakteri mengakumulasi informasi berbagai materi genetik asing dari bakteriofag yang pernah menyerang mereka atau tetua mereka dahulu. Secara konsep, CRISPR seperti database definisi virus pada sistem antivirus. Pola CRISPR ini kemudian tersimpan sedemikian rupa dalam genom bakteri untuk kemudian ditranskripsikan sebagai RNA pemandu. Apabila sistem sel mendeteksi masuknya DNA asing dari virus ataupun plasmid asing yang bukan milik bakteri, bila materi genetik asing tersebut memiliki pola yang komplemen dengan RNA pemandu, maka materi genetik itu akan dipotong oleh enzim DNA endonuklease Cas, sehingga materi genetik itu rusak dan terdegradasi.
Ada banyak sekali sistem Cas pada bakteri, dari yang paling sederhana hingga ke yang paling kompleks. Diantara sistem CRISPR di alam, sistem CRISPR-Cas9 [2] (Gambar 1) adalah yang paling sederhana dan memiliki nilai kemanfaatan bagi aplikasi bioteknologi. Sistem CRISPR-Cas9 dikatakan sederhana karena enzim DNA endonuklease Cas yang digunakan, Cas9, merupakan protein monomerik yang aktif, bukan suatu protein kompleks yang baru aktif apabila komponen-komponen kompleksnya berkumpul terlebih dahulu untuk melakukan suatu aksi [3].
Gambar 1. Skematik CRISPR-Cas9 (Gambar oleh M. Walter, 2017, diambil dari Wikipedia Commons).
Memanfaatkan kesederhanaan sistem CRISPR-Cas9, kita bisa mendesain RNA pemandu (guide RNA, gRNA) yang kecocokan dengan target gen yang akan kita potong. Cas9 akan memotong 3-4 bp upstream dari daerah PAM (Protospacer Adjacent Motif) yang dikenal oleh Cas9 (umumnya bersekuen NGG). Perpotongan inilah yang diharapkan dapat memicu mekanisme perbaikan DNA (DNA repair). Namun, proses perbaikan DNA pada sel ini tidaklah bejalan sempurna, karena DNA yang rusak memiliki dua kemungkinan nasib perbaikan: Non-homologues End Joining atau Homology Directed Repair (Gambar 2), tergantung pada kondisi sel saat mengalami kerusakan DNA. Non-homologues End Joining terjadi baik pada sel yang aktif berproliferasi maupun yang tidak membelah, sementara Homology Directed Repair tidak terjadi pada sel yang tidak membelah [4].
Gambar 2. Skematik proses perbaikan DNA (DNA repair) paska aksi CRISPR-Cas9. Apabila DNA yang terpotong tidak memiliki sekuen homolog yang memandu proses perbaikan, maka DNA akan diperbaiki dengan mode Homology Directed Repair. Namun, bila tidak ada sekuen homolog, maka DNA akan diperbaiki dengan mode Non-homologues End Joining (Gambar oleh M. Walter, 2017, diambil dari Wikipedia Commons).
Bila kita menginginkan terjadinya perubahan susunan sekuen gen seperti insersi/delesi, maka mode Non-homologues End Joining adalah yang diharapkan terjadi. Namun demikian, dikarenakan nature dari pembelahan sel yang tidak seragam, tentu saja kita membutuhkan verifikasi dengan sekuensing DNA untuk mengkonfirmasi terjadinya pemotongan.
Aplikasi Teknologi CRISPR untuk Tomat Manis
Upaya pemuliaan tanaman diupayakan untuk meningkatkan kuantitas dan mutu panen tanaman. Namun demikian, pada prakteknya, pemuliaan tanaman konvensional seringkali tidak begitu sukses untuk memperoleh paduan yang pas dan seringkali juga kita berkorban satu sifat sebagai harga atas perbaikan sifat yang lain. Hal itu dikarenakan adanya pautan genetik (genetic linkage) yang mengatur berbagai sifat pada tumbuhan [5].
Keterpautan inilah yang menjadikan amat kompleksnya perbaikan sifat pada tanaman. Sehingga satu gen yang kita ubah juga memberi dampak kepada sifat yang lain. Untuk tomat, faktor ukuran dan rasa adalah dua faktor yang utama yang penting untuk menentukan populernya suatu jenis tomat dan persepsi individu terhadap kesukaannya pada tomat tersebut. Namun acap kali tomat besar rasanya hambar, dan tomat manis ukurannya kecil [6].
Dalam penelitiannya, Zhang dan koleganya [1], berhasil mengidentifikasi SlCDPK27, sebuah gen yang bertanggung jawab untuk mengkode SlCDPK27, suatu protein kinase yang bertanggung jawab memfosforilasi SlSUS3, suatu enzim Sucrose Synthase (SuSy) pada tomat.
Pada kondisi normal, SlCDPK27 memfosforilasi SlSUS3 sehingga menjadi target degradasi protein. Gen SlCDPK27 yang bertindak sebagai ‘rem’ produksi gula dihapus menggunakan CRISPR. Akibatnya, kadar glukosa dan fruktosa pada tomat meningkat hingga 35% dan 30%, menghasilkan tomat yang lebih manis.
Hasil penelitian ini tidak hanya menghadirkan kabar gembira untuk konsumen tomat buah konsumsi. Industripun juga berbahagia, terlebih industri tomat olahan seperti pasta tomat. Penggunaan tomat manis hasil CRISPR dengan kemanisan buah yang cukup dapat menekan penggunaan gula tambahan, sehingga dapat berpotensi menekan biaya produksi. Bagi bidang biologi tumbuhan, bisa jadi homolog gen SlCDPK27 pada tumbuhan manis lain dapat dieksplor untuk menjadi target studi untuk kepentingan meningkatkan kemanisannya.
Referensi
[1] Zhang, J., et al. 2024. Releasing a sugar brake generates sweeter tomato without yield penalty. Nature. s41586-024-08186-2. doi: https://dx.doi.org/10.1038/s41586-024-08186-2.
[2] Jinek, M., et al. 2012. A programmable dual RNA-guided DNA endonuclease in adaptive bacterial immunity. Science. 337:816–821. doi: https://dx.doi.org/10.1126/science.1225829.
[3] Kashtwari, M., et al. 2022. Random mutagenesis in vegetatively propagated crops: Opportunities, challenges and genome editing prospects. Molecular Biology Reports 49: 5729-5749. doi: https://dx.doi.org/10.1007/s11033-021-06650-0.
[4] Chou, et al. 2020. Dual supramolecular nanoparticle vectors enable CRISPR/Cas9‐mediated knockin of Retinoschisin 1 gene—A potential nonviral therapeutic solution for X‐linked juvenile retinoschisis. Advanced Science (Weinheim). 7:1903432. doi: https://dx.doi.org/10.1002/advs.201903432.
[5] Gao, M., et al. 2024. Revisiting growth–defence trade-offs and breeding strategies in crops. Plant Biotechnology Journal. 22: 1198-1205. doi: https://dx.doi.org/10.1111/pbi.14258.
[6] Tieman, D., et al. 2017. A chemical genetic roadmap to improved tomato flavor. Science. 355: 391-394. doi: https://dx.doi.org/10.1126/science.aal1556.
Leave a Reply