Indonesia, negara kita yang kaya ini memiliki biodiversitas terbesar kedua setelah Brasil yang memiliki hutan Amazon di dalamnya. Dari semua yang ada, ditunjuklah tiga bunga atau puspa yang istimewa: Bunga melati (Jasminum sambac) sebagai Puspa Bangsa Indonesia, bunga angrek bulan (Phalaenopsis amabilis) sebagai Puspa Pesona Indonesia, dan bunga padma raksasa alias Rafflesia sebagai Puspa Langka Indonesia. Kita tentu paham, betapa indah dan wangi semerbaknya bunga melati, dan betapa memesonanya bunga anggrek bulan (yang bahkan ada lagunya yang digubah Aloysius Riyanto, dipopulerkan oleh Rani, dan dipolerkan kembali oleh Chrisye dan Sophia Latjuba). Namun, jarang, sangaaat jarang dari kita yang paham mengenai tumbuhan unik bernama Rafflesia, dan bahkan beberapa orang masih sering tertukar dengan bunga bangkai raksasa, Amorphophallus titanum. Padahal, bunga padma raksasa, Rafflesia, adalah tumbuhan sangat sangat unik, yang bahkan memiliki komponen biologi paling misterius dibanding tumbuhan lainnya!
Ketika kita masih SD, kita diajarkan bahwa tumbuhan adalah organisme hidup yang mampu berfotosintesis, beberapa di antaranya kemudian kita mempelajarinya bahwa memerlukan bunga untuk membentuk biji yang nantinya bisa berkecambah membentuk tumbuhan baru. Kita pun ingat di SD, kita belajar menanam biji kacang hijau di atas kapas basah dan membuatnya berkecambah. Di ilmu taksonomi, tumbuhan berbunga itu kita mengenalinya sebagai tumbuhan Angiospermae, tumbuhan yang membentuk bunga sebagai alat reproduksinya, serta biji dilindungi oleh komponen yang disebut daun buah. Akan tetapi, tumbuhan Rafflesia, meski tergolong Angiospermae, dia tidak memiliki akar, batang, dan daun yang terlihat, dan bahkan hingga saat ini belum diketahui secara pasti bagaimana Rafflesia bisa berkecambah dan tumbuh di tumbuhan inangnya. Yap, betul, Rafflesia adalah tumbuhan parasit dari tumbuhan merambat Tetrastigma, atau tepatnya karena ia parasit sejati yang mengambil makanan dari inangnya sepenuhnya, bisa juga disebut holoparasit. Kalau mau lihat sendiri, silakan ke Kebun Raya Bogor pada waktu bunga ini mekar. Kita hanya bisa melihat bunga merah besar yang muncul begitu saja dari dalam tumbuhan merambat. Tidak ada penampakan daun ataupun batang yang muncul, hanya kuncup dan bunga.
Struktur bunga Rafflesia pun tidak seperti bunga pada umumnya yang kita ketahui. Tidak ada kelopak (sepal) maupun mahkota (petal), hanya struktur ambigu yang disebut perianthum atau lebih dikenal sebagai perigon yang nampak dari luar. Perigon ini memiliki banyak tonjolan seperti jerawat di permukaannya dan permukaan perigon terasa seperti kulit yang lembab. Di bagian tengah bunga, terlihat struktur aneh yang mungkin sekilas seperti benang sari maupun kepala putik. Nyatanya, bagian menonjol seperti duri di tengah bunga itu adalah tonjolan atau disebut juga prosesus. Jauh di bawah prosesus dan tersembunyi dalam celah melingkar, di sanalah terdapat tonjolan benang sari atau permukaan putik – karena Rafflesia adalah tumbuhan berumah dua atau dioesius (Nais, 2001), kecuali beberapa spesies seperti Rafflesia baletei dan R. verrucosa (Barcelona et al, 2006; Balete et al, 2010) yang merupakan Rafflesia berbunga hermafrodit (terdapat organ kelamin jantan dan betina di satu bunga). Di bagian luar, pangkal bunga merupakan bagian keras disebut kupula dan perigon bunga dilindungi oleh braktea sebelum mekar (Nais, 2001; Susatya, 2011).
Sekarang, kita akan melihat kenapa mungkin Rafflesia merupakan bunga futuristik. Berdiskusi dengan Ketua Yayasan Genbinesia, Heri Santoso, saya belajar dan sepakat bahwa bagaikan gawai modern yang kita punya, seperti telepon seluler pintar yang kekinian, tumbuhan Rafflesia itu adalah tumbuhan yang all-in-one. Proses adaptasi di evolusi menunjukkan bahwa suatu kehidupan akan berubah dari yang sederhana menjadi kompleks, namun dengan struktur yang rumit menjadi sederhana. Bagaikan di awal telepon genggam ditemukan, pertama masih memiliki kabel serta antena dan berukuran besar, namun saat ini berukuran kecil, pipih, tanpa antena dan tombol, dengan fasilitas layar sentuh dan segala komponen di dalamnya semakin kompleks dengan bentuk yang sederhana dan sangat user friendly. Mungkin terdengar ngelantur, tapi saya mengatakan ini dengan banyak dasar. Penelitian saya dengan Ibu Sofi Mursidawati (Mursidawati et al, 2019) menyimpulkan suatu bukti bahwa Rafflesia bahkan tidak memiliki bentuk parasit (sistem tumbuhan parasit di dalam inangnya, disebut endofit), karena ketika kami bedah batang tumbuhan inangnya, yaitu Tetrastigma, tidak ditemukan sama sekali struktur memanjang yang diyakini milik Rafflesia. Melainkan, kami menemukan suatu kumpulan sel yang kami yakini merupakan sel milik Rafflesia (dengan bentuk nukleus yang lebih besar dibandingkan sel milik inang; Nikolov et al, 2014). yang terletak di dalam kambium vaskuler milik Tetrastigma. Di bagian lain batang Tetrastigma, kami juga menjumpai fase lanjut dari kumpulan sel tersebut: Kumpulan sel-sel itu akan membelah dan membesar membentuk kuncup primordia (protokormus) awal bunga Rafflesia, dengan bagian dasar (basal) tumbuh sedikit mendekat ke arah xilem Tetrastigma, dan bagian apikal akan terus membesar bersama dengan sel Rafflesia lain yang masih meristematik ke arah floem dan kemudian kulit Tetrastigma hingga akhirnya membesar dan menembusnya.
Kompleksitas dan keunikan bunga ini tidak hanya sampai di sini. Ketika bunga ini mekar, bunga ini mengeluarkan bau busuk yang diduga dari permukaannya (walau saat ini kami masih menunggu penelitian dari Malaysia yang telah menunjukkan osmofor di jaringan epidermis penghasil baunya, sehingga belum ada referensi; ide ini disebutkan Nur Syazwani di simposium Flora Malesiana 11 2019, Brunei Darussalam) untuk memanggil lalat dan serangga pemakan bangkai untuk membantu proses penyerbukannya, namun bunga ini tidak menyediakan nektar untuk serangga tersebut sama sekali dan bahkan sering dijumpai serangga polinator tersebut mati di dalam Rafflesia (Nais, 2001). Untuk membantu meyakinkan serangga polinatornya lebih jauh, Rafflesia ternyata mampu menghasilkan panas untuk mensimulasikan bangkai yang sedang membusuk (Patiño et al, 2002).
Setelah berhasil diserbuki, dalam beberapa waktu, bunga betina akan membentuk buah yang masak. Namun permasalahannya, Rafflesia bisa tetap membentuk buah walau tidak diserbuki (Nais, 2001) walau artinya biji di dalamnya menjadi steril dan tidak dapat berkecambah. Sehingga penyerbukan buatan menjadi sangat penting untuk memastikan semakin banyak biji Rafflesia yang fertil dan dapat berkecambah (obrolan pribadi dengan Jamili Nais pada Simposium Internasional Amorphophallus dan Rafflesia di Bengkulu, 2015). Secara alami, biji-biji Rafflesia di alam bisa tersebar oleh hewan seperti tupai tanah hingga semut (Nais, 2001), namun hingga detik ini, bagaimana Rafflesia bisa berkecambah hingga menjadi parasit dalam inang masih misterius. dan semua peneliti masih menduga-duga.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan Ibu Sofi pun, kami sepakat bahwa satu-satunya cara mendapatkan informasi dari “potongan siklus hidup Rafflesia yang hilang” itu adalah dengan pengamatan lebih detail baik in vivo maupun in vitro di laboratorium. Masalahnya, Bu Sofi pun sudah berkali-kali mencoba menanam biji Rafflesia patma, baik di inang yang kulitnya telah dibuka atau disayat, maupun di media agar (dengan kontrol biji saja, maupun yang dengan kultur inangnya diletakkan bersamaan di media kultur; dengan perlakuan memakai strigol untuk memicu perkecambahan) namun gagal (Mursidawati et al, 2015). Percobaan kultur jaringan pun pernah dilakukan, baik di dalam inang pada R. patma (Mursidawati dan Handini, 2012) tapi gagal. Satu-satunya upaya kultur jaringan Rafflesia yang berhasil hanyalah oleh Pak Lazarus Agus Sukamto (Profesor dari LIPI yang telah pensiun) dan Pak Mujiono (Sukamto dan Mujiono, 2010) pada R. arnoldii hingga berhasil membentuk kalus. Sayangnya hingga sebelum beliau pensiun, kalus tersebut telah berpindah tangan sehingga tidak ada yang sempat mengamati lebih jauh dan detail, sementara upaya percobaan pembentukan kalus tersebut kian gagal berkali-kali. Hal unik dari hasil percobaan oleh Pak Agus dan Pak Mujiono tersebut adalah R. arnoldii merespon ke auksin sintetik (picloram) dan bukan sitokinin (zeatin) sama sekali. Mungkinkah ini berarti Rafflesia pertumbuhannya dipicu oleh auksin, dan membuatnya kerap tumbuh ke jaringan inang yang lebih muda seperti yang diungkapkan Heide-Jørgensen (2008)?
Banyak percobaan kultivasi Rafflesia gagal. Satu-satunya yang berhasil adalah percobaan Pak Agus dan Pak Mujiono tadi. Lalu ada percobaan kultur sambung (grafting) oleh Bu Sofi sendiri yang membuahkan hasil ke R. patma yang tumbuh di Bogor saat ini. Walau awalnya Nikolov et al (2014; dan komunikasi personal dengan Dr. Nikolov langsung) beranggapan bahwa Rafflesia hanya tumbuh di satu titik, percobaan grafting tersebut menunjukkan bahwa Rafflesia bisa menyebar dari titik awal ke titik baru (Wicaksono et al, 2015) yang diduga melibatkan tekanan pembelahan jaringan kambium vaskuler inang terhadap sel-sel dan jaringan muda Rafflesia yang mendesaknya bergerak semakin jauh (Mursidawati et al, 2019). Hingga saat ini, Bu Sofi meyakini metode grafting ini adalah metode paling efektif untuk memperbanyak Rafflesia (disetujui pula oleh Pak Jamili Nais di simposium tadi di tahun 2015). Di luar sana, percobaan perkecambahan biji diklaim berhasil oleh Pak Joni Hartono di Bukittinggi, Indonesia (Wicaksono et al, 2016) dan Pak Gabin di Sabah, Malaysia (Molina et al, 2019). Semoga perkecambahan ini di masa depan dapat direkam di bawah mikroskop portabel sehingga visualisasi total siklus hidup Rafflesia dapat dilakukan.
Penelitian kami sendiri yang terakhir sedang diajukan dan dalam proses review, yaitu mengenai histologi struktural R. patma yang sedang mekar dan di dalamnya banyak fitur menarik (Mursidawati et al, 2020 – dalam review dan belum terbit). Kami dengan sangat senang hati mengundang para peneliti, khususnya para peneliti muda untuk terus mengamati lebih dekat tumbuhan Rafflesia ini. Karena hanya dengan mengamati lebih dekat, kita akan lebih peduli atas kekayaan hayati kita di Indonesia dan dunia. Dengan mengamati lebih dekat, kita bisa belajar dan mencari inspirasi teknologi dan upaya konservasi di waktu yang sama. Jangan lupa, tak kenal maka tak sayang.
REFERENSI
Barcelona, J.F., Cajano, M.A.O. and Hadsall, A.S., 2006. Rafflesia baletei, another new Rafflesia (Rafflesiaceae) from the Philippines. Kew Bulletin, pp.231-237.
Balete, D.S., Pelser, P.B., Nickrent, D.L. and Barcelona, J.F., 2010. Rafflesia verrucosa (Rafflesiaceae), a new species of small-flowered Rafflesia from eastern Mindanao, Philippines. Phytotaxa, 10(1), pp.49-57.
Heide-Jørgensen, H., 2008. Parasitic flowering plants. Brill.
Molina, J., McLaughlin, W., Wallick, K., Pedales, R., Marius, V.M., Tandang, D.N., Damatac, A., Stuhr, N., Pell, S.K., Lim, T.M. and Novy, A., 2017. Ex Situ Propagation of Philippine Rafflesia in the United States: Challenges and Prospects. Sibbaldia: the Journal of Botanic Garden Horticulture, (15), pp.77-96.
Mursidawati, S., Ngatari, N., Irawati, I., Cardinal, S. and Kusumawati, R., 2015. Ex situ conservation of Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae): an endangered emblematic parasitic species from Indonesia. Sibbaldia: the Journal of Botanic Garden Horticulture, (13), pp.99-110.
Mursidawati, S., Wicaksono, A. and Teixeira da Silva, J.A., 2019. Development of the endophytic parasite, Rafflesia patma Blume, among host plant (Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston) vascular cambium tissue. South African Journal of Botany, 123, pp.382-386.
Nais, J., 2001. Rafflesia of the World. Sabah parks.
Nikolov, L.A., Tomlinson, P.B., Manickam, S., Endress, P.K., Kramer, E.M. and Davis, C.C., 2014. Holoparasitic Rafflesiaceae possess the most reduced endophytes and yet give rise to the world’s largest flowers. Annals of botany, 114(2), pp.233-242.
Patiño, S., Aalto, T., Edwards, A.A. and Grace, J., 2002. Is Rafflesia an endothermic flower?. New Phytologist, 154(2), pp.429-437.
Sukamto, L.A. and Mujiono, M., 2010. In vitro culture of holoparasite Rafflesia arnoldii R. Brown. Buletin Kebun Raya, 13(2), pp.79-85.
Susatya, A., 2011. Rafflesia pesona bunga terbesar di dunia. Jakarta: Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung.
Wicaksono, A., Mursidawati, S., Sukamto, L.A. and Da Silva, J.A.T., 2016. Rafflesia spp.: propagation and conservation. Planta, 244(2), pp.289-296.
Wicaksono, A., Teixeira, J.A., Silva, D. and Mursidawati, S., 2017. Dispersal Of Rafflesia Patma Blume Endophyte In Grafted Host Plant (Tetrastigma Leucostaphylum (Dennst.) Alston). Journal of Plant Development, 24.
Leave a Reply