Beberapa waktu dalam hidup kita, pasti kita pernah mendengar, “Setiap orang itu jenius. Tetapi jika kita menilai ikan dari kemampuannya untuk memanjat pohon, maka sang ikan itu akan percaya seumur hidupnya bahwa ia adalah idiot”. Mungkin benar atau tidak, namun kutipan kata-kata itu diungkapkan oleh seorang jenius sepanjang masa, Albert Einstein. Namun, saya ada kabar buruk buat Pak Einstein (maaf pak, walau saya sangat kagum dengan bapak), karena nyatanya ada ikan yang bisa memanjat pohon!
Mudskipper, atau bisa disebut juga ikan gelodok atau ikan tembakul di beberapa tempat, adalah ikan terestrial yang dapat bernapas di luar air dengan memanfaatkan kulitnya yang lembab dan dialiri banyak pembuluh darah (Park, 2002). Di sisi lain, ikan ini bisa merangkak keluar air dengan memanfaatkan sirip pektoralnya untuk bergerak maju seperti tungkai depan, dan sirip pelvisnya untuk menjaga kestabilan seperti tungkai belakang (Gibson, 1986; Sayer, 2005; Pace and Gibb, 2009). Kemampuan unik inilah yang membuat si ikan gelodok ini untuk layak menjadi model transisi dari air ke darat dari ikan jenis bersirip sinar (Actinopterygii), seperti fenomena ikan purba Eusthenopteron (kelompok ikan bersirip daging, Sarcopterygii) pada masanya. Ikan gelodok adalah kelompok ikan yang tergolong famili Gobiidae yang di dalamnya memiliki 10 genus, namun hanya 4 genus yang paling memiliki kemampuan adaptasi untuk bertahan di kondisi terrestrial hingga mampu bernapas dengan udara langsung dalam waktu lama, yaitu genus Boleophthalmus, Periophthalmodon, Periophthalmus, dan Scartelaos.
Ikan ini spesial karena memiliki kemampuan yang tidak seperti ikan pada umumnya. Pertama, beberapa jenis ikan, khususnya Periophthalmus ini bisa melekat pada substrat vertikal, misalnya pada permukaan vertikal akuarium kaca. Sebuah studi membandingkan ikan gelodok Boleophthalmus boddarti yang memiliki sirip pelvis terhubung (fused fins) dan Periophthalmus variabilis yang memiliki sirip pelvis terpisah (unfused fins) (Wicaksono et al, 2016). Ternyata Periophthalmus yang memiliki sirip pelvis terpisah diduga mampu menempel di substrat vertikal karena luas permukaan kontak bagian bawahnya dengan substrat menjadi semakin besar. Kemudian, dengan adanya mukus atau lendir dari kulit ikan yang memfasilitasi perlekatan dengan adanya fenomena adhesi Stefan antara permukaan kontak bagian bawah ikan (termasuk sirip pelvis yang menjulur ke luar) dengan substrat. Adhesi Stefan ini dijabarkan sebagai perlekatan antara dua komponen paralel yang dipisahkan dengan air (bayangkan kita punya plastik OHP, kasih air, letakkan di kaca, maka akan menempel kan?). Dengan adanya mukus, perlekatan ini akan semakin kuat. Studi ini juga menunjukkan adanya ikatan elektrostatis dan van der Walls antara mukus yang berupa asam hyaluronat dengan substrat (kapur atau kayu) dan juga bahwa sirip pelvis terpisah pada P. variabilis mampu mendistribusikan stres dengan lebih baik dibandingkan pada sirip pelvis terhubung pada B. boddarti.
Menariknya lagi, berbeda dengan amfibi, sistem otot-rangka sirip pelvis belum terhubung oleh tulang belakang (Don et al., 2013), namun bisa digerakkan ke arah substrat dengan mekanisme mirip piston ketika sirip pektoral mengapit (gerak abduksi) ke arah otot lateral badan ikan (Wicaksono et al, 2017). Mudahnya, bayangkan kita memakan hot dog, tekan roti ke dalam (ke arah sosis), maka sosis akan tergencet dan tergelincir ke arah luar. Tekanan tangan kita adalah gaya dari sirip pektoral, roti adalah otot lateral ikan, dan sosis adalah gelang sirip pelvis. Dengan cara ini, ikan gelodok bisa menghemat energi karena sirip pelvis bisa didorong ke arah substrat dengan instan ketika sirip pektoral digerakkan.
Lalu, ikan ini bahkan mampu melompat ke arah permukaan air dan bahkan di atas permukaan air bak jurus ninja jalan di atas air! Caranya, ikan gelodok memanfaatkan gaya dorong mirip pegas dari sirip ekornya untuk melompat dari darat. Sirip ekor ditekuk ke arah depan paralel dengan sumbu tubuh, membuat badannya jadi seperti huruf J, lalu dengan sekuat tenaga sirip ekor dihempas ke arah substrat di bawahnya dan mendorong ikan ke udara (Swanson and Gibb, 2004; Gibb et al., 2011). Lalu di air, ikan ini secara berulang menggerakkan sirip ekornya ke kiri dan kanan untuk membuatnya terdorong di atas permukaan air, dan ketika kecepatannya sudah cukup, ia akan lompat – dengan prinsip yang sama namun lebih singkat dari proses lepas landas dan terbang pada ikan terbang (Wicaksono et al, 2020). Pada studi Wicaksono et al (2020) ini, diketahui ikan ini menjaga energi kinetik (setengah dari hasil kali massa ikan dengan laju yang dikuadratkan; EK = 1/2 mv^2) untuk bisa terus melompat di atas air, bahkan walau dengan lepas landas yang singkat atau memantul di atas permukaan air tanpa lepas landas dengan mengatur kecepatannya di air! Prinsipnya sama dengan kita yang ingin lompat jauh, kita harus lari dulu hingga laju optimal dan kita melompat ke depan, tapi dalam hal ini kita setelah melompat pun harus terus lari lagi dan lompat lagi secara berulang. Hingga akhirnya, ikan ini bisa mendarat di lumpur atau substrat horizontal, maupun substrat vertikal, misalnya bambu di dermaga. Mekanisme ini diduga sebagai mekanisme kabur bila ikan ini dalam bahaya.
Setelah kita memahami kehebatan ikan gelodok ini, kita tentu jadi sadar bahwa di alam masih banyak organisme yang memiliki kemampuan yang awalnya manusia tidak menduga bahwa ia memilikinya. Tentu ini bisa menjadi inspirasi untuk kita mengembangkan sistem yang lebih efisien lagi dengan belajar dari makhluk hidup lain yang sudah bertahan hidup di muka bumi ini selama ratusan juta hingga miliaran tahun lamanya melalui upaya biomimetika. Pastinya, kita juga jadi semakin mengapresiasi ciptaan Tuhan lainnya di alam kan?
REFERENSI
Don, E.K., Currie, P.D. and Cole, N.J., 2013. The evolutionary history of the development of the pelvic fin/hindlimb. Journal of anatomy, 222(1), pp.114-133.
Gibb, A.C., Ashley‐Ross, M.A., Pace, C.M. and Long, J.H., 2011. Fish out of water: terrestrial jumping by fully aquatic fishes. J. Exp. Zool. A Ecol. Genet. Physiol., 315(10), pp.649-653.
Gibson, R.N., 1986. Intertidal teleosts: life in a fluctuating environment. In The behaviour of teleost fishes (pp. 388-408). Springer, Boston, MA.
Pace, C.M. and Gibb, A.C., 2009. Mudskipper pectoral fin kinematics in aquatic and terrestrial environments. Journal of Experimental Biology, 212(14), pp.2279-2286.
Park, J.Y., 2002. Structure of the skin of an air‐breathing mudskipper, Periophthalmus magnuspinnatus. Journal of fish biology, 60(6), pp.1543-1550.
Sayer, M.D., 2005. Adaptations of amphibious fish for surviving life out of water. Fish and Fisheries, 6(3), pp.186-211.
Swanson, B.O. and Gibb, A.C., 2004. Kinematics of aquatic and terrestrial escape responses in mudskippers. J. Exp. Biol., 207(23), pp.4037-4044.
Wicaksono, A., Hidayat, S., Damayanti, Y., Jin, D.S.M., Sintya, E., Retnoaji, B., and Alam, P., 2016. The significance of pelvic fin flexibility for tree climbing fish. Zoology, 119(6), pp.511-517.
Wicaksono, A., Hidayat, S., Retnoaji, B., Rivero-Müller, A. and Alam, P., 2017. A mechanical piston action may assist pelvic–pectoral fin antagonism in tree-climbing fish. J. Mar. Biol. Assoc. U.K., pp.1-11.
Wicaksono, A., Hidayat, S., Retnoaji, B. and Alam, P., 2020. The water-hopping kinematics of the tree-climbing fish, Periophthalmus variabilis. Zoology, 139, p.125750.
Leave a Reply