Arsip

Kategori

Major Histocompability Complex, Kontrol Genetik, dan Transplantasi


I. KOMPLEKS HISTOKOMPABILITAS MAYOR

Kompleks histokompabilitas mayor M (Major Histocompability Complex = MHC) atau sistem histokompabilitas mayor (Major Histocompability System = MHS) adalah suatu kelompok atau kompleks gen yang terletak dalam kromosom 6 dan berperan dalam pengenalan dan pemberian sinyal di antara sel-sel imun. Kelompok gen tersebut dikenal sebagai lokus awal yang menentukan ekspresi molekul-molekul permukaan sel tubuh (Baratawidjaja, 2002).

A. PEMBAGIAN KOMPLEKS HISTOKOMPABILITAS MAYOR
Produk gen sering disebut antigen MHC karena pertama kali diketahui melalui analsis serologis yang menggunakan antibodi. Molekul MHC kelas I dan kelas II berperan pada pengenalan imun, yaitu pada presentasi fragmen antigen kepada sel T. Molekul MHC dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan rumus bangunnya, yaitu:

1. Molekul MHC kelas I
Kompleks HLA-A, HLA-B, dan HLA-C yang disebut MHC kelas I (MHC-I) menetapkan ekspresi atau antigen permukaan kelas I yaitu yang berupa protein pada membran permukaan semua sel tubuh yang memiliki nukleus dan trombosit.
Peptida yang diikat molekul MHC-I berasal dari virus yang menginfeksi penjamu. Protein virus dipecah menjadi peptida dalam sitosol, kemudian diikat molekul MHC-I dan mengangkutnya ke permukaan sel, sehingga kompleks MHC kelas I dan peptida tersebut dapat dikenal oleh sel TCD8+ (CTL/TC) yang sitotoksik.
MHC-I diekspresikan pada sel semua sel dengan nukleus, sehingga sel Tc akan mudah mengenal sel yang terinfeksi virus. Sel yang tidak memiliki molekul MHC-I diekspresikan pada hampir semua jenis sel kecuali sel darah merah, sehingga tidak adanya molekul MHC-I di permukaan sel darah merah memudahkan Plasmodium hidup di dalamnya tanpa intervensi sistem imun (Baratawidjaja 2002)
Gambar 1. Jalur antigen MHC kelas I (Thymed, 2003)


2. Molekul MHC kelas II
Molekul kelas II pada manusia dikenal dengan HLA-D. Gen yang mengkode molekul kelas II terletak pada major histocompatibility complex (MHC). Molekul kelas dua terdiri dari dua polipeptida transmembran. Kedua rantai tersebut berinteraksi membentuk lekukan pada bagian terluar dan seperti halnya pada molekul kelas I, selalu mengandung fragmen antigen. Akan tetapi, fragmen yang terikat pada moleul kelas II merupakan hasil dari antigen yang telah dimakan oleh sel. Antigen dimakan secara endositosis. Endosom menyatu dengan lisosom dan bahan-bahan endosom tersebut dicerna menjadi beberapa bagian. Hasil dari proses tersebut berupa fragmen-fragmen yang diletakkan pada molekul kelas II dan ditampilkan pada permukaan sel (Kimball, 2005).
Seluruh molekul MHC kelas II tersusun atas dua rantai polipeptida. Kedua rantai tersebut secara umum mirip. Rantai α lebih besar daripada rantai β. Hal tersebut karena pada rantai α lebih luas glycosylation-nya. Kedua rantai polipeptida mengandung grup oligosakarida N-linked, extracellular termini, dan intracellular carboxy termini serta lebih dari dua atau tiga rantai berada pada ruang ekstraseluler. Kedua rantai tersebut merupakan hasil ekspresi gen yang berbeda. Keduanya merupakan polimorfisme (Abbas dkk. 1994).
Molekul kelas II berbeda dengan molekul kelas I, hanya terekspresi pada bebeapa tipe sel. Sel-sel tersebut seperti makrofag dan limfosit B. Kedua sel tersebut memiliki fungsi khusus dalam memproses dan menampilkan antigen ektraselluler pada limfosit T. Antigen presentation tersebut pada molekul kelas II berbeda dengan kelas I pada dua hal, yaitu: Seluruh sel dapat menampilkan antigen dengan molekul kelas I, sedangkan hanya beberapa sel yang dapat melakukannya dengan molekul kelas II. Fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul kelas I merupakan hasil dari sintesis makromolekul dari dalam sel, sedangkan yang terlihat pada molekul kelas II diperoleh dari luar sel
Gambar 2. Jalur antigen MHC kelas II (Cambridge University, 1998)
Reseptor MHC kelas II
Sel T pada tubuh kebanyakan memiliki satu atau dua distinct subset, yaitu CD4 dan CD8. CD4 dan CD8 merupakan permukaan glikoprotein. Kedua CD4 dan CD8 pada sel T memiliki reseptor antigen yang bersesuaian dengan kompleks fragmen epitope. Kedua reseptor antigen tersebut dapat diaktifkan dengan berikatan pada complementary epitope. CD8 berikatan pada situs yang ditemukan hanya pada MHC kelas I, sedangkan CD4 pada MHC kelas II (Kimball, 2005).

Interaksi CD4 sel T dengan MHC kelas II
CD4 yang terekspresi pada permukaan sel T CD4 dapat menyebabkan sel tersebut berikatan dengan sel yang menampilkan fragmen antigen pada molekul kelas II, tetapi tidak di kelas I. Hanya beberapa tipe sel yang memiliki fungsi khusus untuk memakan antigen dari cairan ekstraseluler. Sel tersebut yang mengekspresikan molekul kelas II. Sel-sel tersebut adalah:
  • Sel dendritik
  • Makrofag
  • Limfosit B

Sel yang memiliki molekul kelas II dapat memperlihatkan derivat antigen dari cairan ekstraseluler kepada sel T CD4. Proses tersbut dilakukan oleh sel teretentu yang disebut antigen presenting cell (Kimball 2005).
Untuk merespon antigen, sel T CD4 harus:
  • Memiliki T cell receptor yang dapat mengenali kompleks epitop hasil dari fragmen antigenik yang dipaparkan oleh molekul kelas II.
  • Berikatan dengan situs pada molekul kelas II dengan menggunakan CD4 yang dimiliki sel T CD4 tersebut.

Sel T akan teraktivasi jika kedua hal tersebut terjadi. Sel T yang teraktivasi akan melakukan beberapa hal. Sel T akan memasuki siklus sel yang akan menuntun pertumbuhan klona dari sel T identik. Sel T kemudian juga akan mengeluarkan sekret. Sekret yang dikeluarkan tersebut berupa lymphokines. Lymphokines yang dikeluarkan oleh sel T memiliki fungsi sebagai berikut:
  • Mengaktivasi sel lain (contohnya sel mast) untuk mendorong terjadinya inflammation.
  • Mengaktivasi sel B sehingga dapat membuat mereka untuk menghasilkan klona antibody-secreting cell. Sel T CD4 yang mengaktivasi sel B disebut sel T Helper.

EKSPRESI MOLEKUL MHC
Ekspresi dari molekul MHC pada sel-sel yang berlainan menunjukkan bisa tidaknya limfosit T berinteraksi dengan antigen yang terpapar pada permukaan sel. CD8+ cytolytic T limphocytes (CTLs) mengenali antigen asing berupa polipetida viral saat mereka berikatan dengan molekul MHC kelas I. Kemampuan CTLs untuk melisiskan sel yang terinfeksi virus merupakan fungsi langsung dari banyaknya molekul kelas I yang terekspresi.
Limfosit T helper CD4 mengenali antigen yang terikat pada molekul MHC kelas II. Molekul MHC kelas II diekspresikan lebih sedikit oleh beberapa tipe sel dibandingkan dengan molekul MHC kelas I. Hal tersebut menyebabkan seikit tipe sel yang dapat memaparkan antigen kepada sel T helper. Kemampuan untuk memaparkan antigen kepada sel T helper merupakan fungsi utama dari molekul MHC kelas II (Abbas dkk. 1994).
Terdapat empat hal penting dalam ekspresi molekul MHC, yaitu:
  • Ekspresi molekul MHC kelas I berbeda dengan molekul MHC kelas II.
  • Rate dari transkripsi adalah determinan utama molekul MHC terekspresi pada permukaan sel.
  • Transkripsi dan ekpresi variasi gen kelas I dan molekul coordinately regulated, seperti halnya molekul MHC kelas I, transkripsi dan ekspresi gen kelas II dan produk yang dihasilkan juga coordinately regulated.
  • Sitokin dapat memodulasi rate dari transkripsi gen kelas I dan kelas II pada sel dengan variasi yang luas.

3. Molekul MHC kelas III
Pembentukan komponen beberapa sitokin dan molekul lain ditentukan oleh MHC yang tergolong molekul MHC kelas III. Letak MHC yang menentukan molekul kelas III terletak di dalam komlpleks MHC yang menentukan MHC I dan II. Sejumlah protein yang ekspresinya ditentukan oleh MHC kelas III antara lain komponen komplemen (C2 dan C4), faktor B properdin (Bf), sitokin Tumor Necrosis Factor (TNF) dan Lymphotoxin (LT), beberapa jenis enzim, heat shock protein tertentu dan molekul carrier yang diperlukan dalam proses antigen. Terdapat gen kelas IV yang mempunyai struktur yang sama dengan gen kelas I, akan tetapi ekspresinya timbul pada saat perkembangan (Baratawidjaja, 2002).
FUNGSI MHC DAN RESTRIKSI MHC
Molekul MHC kelas I terdiri dari antigen-antigen HLA-A, HLA-B, dan HLA-C yang dapat dikenali oleh sel T sitotoksik (berperan dalam penolakan transplan dan sitolisis sel yang terinfeksi virus). Olah karena itu MHC kelas I disebut juga antigen transplantasi. MHC kelas II berfungsi untuk mengawasi interaksi antara sel-sel imunokompeten (seperti antara sel APC dan T helper, antara sel T helper dan sel B dalam produksi antibodi, serta antara sel T satu dengan sel T lain). Oleh karena itu aktivasi sel T merupakan respons imun dan molekul MHC kelas II disebut juga antigen Ia (immune response associated) (Baratawidjaja 1991). Tahap reaksi-reaksi yang terdapat dalam MHC restricted adalah:
  1. APC mempresentasikan antigen pada sel T helper melalui molekul MHC kelas II. Reseptor pada sel T helper akan mengenal antigen dan MHC kelas II. Reseptor MHC kelas II dapat merupakan penanda permukaan sel T4 atau sejenisnya yang juga dimiliki sel-sel dengan restriksi MHC kelas II.
  2. Faktor antigen spesifik (sitokin) dilepas oleh sel T akan merangsang sel B dari golongan MHC yang sama. Sel B dapat mengenal matriks antigen dan faktor tersebut melalui imunoglobulin permukaan dan MHC kelas II. Sinyal proliferasi selanjutnya dapat berasal dari APC. Beberapa faktor penolong yang mengandung determinan yang ditentukan bekerja menurut restriksi MHC.
  3. Sel T menolong sel B melalui jembatan antigen dalam interaksi terbatas pada MHC kelas II. Interaksi tersebut merupakan pengenalan antigen determinan pada sel B.
  4. Reaksi sitotoksik (membunuh sel) terhadap sel yang mengandung virus dan penolakan jaringan transplan. Sel T helper akan mengenal antigen virus dan molekul MHC kelas II pada permukaan sel sasaran atau APC. Hal tersebut memberikan pertolongan pada sel T sitotoksik yang mengenal antigen yang berhubungan dengan molekul MHC kelas I melalui reseptor. Sinyal tersebut akan mengaktifkan sel T sitotoksik untuk membunuh sel sasaran. Pada penolakan jaringan transplan, antigen asing pada sel sasaran adalah ekivalen dengan MHC ditambah dengan sinyal antigen yang dibutuhkan untuk mengaktifakan sel T. Limfokin yang dilepas oleh sel yang diaktifkan tersebut akan mengerahkan makrofag yang merusak transplan.
  5. Sel T sitotoksik melepas faktor yang berinteraksi dalam MHC restricted fashion untuk menekan aktivitas sel T dan B. Faktor tersebut bekerja dengan cara mengikat APC dan beberapa faktor supresor (penekan) mempunyai determinan yang dapat dikenal oleh antisera allogeneic antiregio IJ. (Baratawidjaja 2002)


HUMAN LEUCOCYTE ANTIGEN (HLA)
Merupakan MHC pada manusia. Antigen HLA terdiri dari beberapa golongan yaitu HLA-A, HLA-B, dan HLA-C yang merupakan molekul MHC kelas I. Haplotip sampai sekarang telah diketahui sampai 24 haplotip untuk A, 50 untuk B, 8 untuk C, dan 7 untuk DP, 7 untuk DG dan 20 untuk DR. Haplotip merupakan pasangan gen yang terletak dalam kromosom tunggal yang menentukan ciri seseorang. Gen normal mempunyai 2 haplotip untuk setiap pasangan gen (satu dari ayah dan satu dari ibu).
HLA allogeneic spesifik yang diketahui seperti HLA-A, HLA-B, dan HLA-C, serta HLA-DR ditemukan dengan cara serologik dan MLR. Spesifitas yang belum diketahui ditandai dengan w. Terdapat penggolongan HLA-Dw sebagai HLA-D sehingga MHC seluruhnya terdiri dari 7 lokus (Baratawidjaja, 2002).


II. KONTROL GENETIK

Benacerraf (pemenang hadiah nobel) yang menyuntik kelinci dengan polipetida sintetik (poly-L-lysine) mendapatkan dua golongan kelinci, yaitu golongan responder dan non-responder. Golongan pertama memberikan respon humoral (membentuk antibodi) dan respon seluler, sedangkan golongan kedua tidak memberian baik respon humoral maupun seluler. Respon tersebut dikontrol oleh gen dominan tunggal yang disebut gen immune response (Ir) yang pada manusia berhubungan dengan kompleks MHC. Respon imun yang dikontrol oleh gen Ir mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
  1. Diarahkan terhadap antigen dengan beberapa determinan epitop yang strukturnya sederhana dan jelas. Respon terhadap setiap determinan ditumbulkan oleh klona sel B dan sel T khusus.
  2. Semua antigen adalah timus dependen.
  3. Sangat spesifik dan tidak menunjukkan inkompetensi imun umum.
  4. Tidak selalu kualitatif, non-responder dapat menunjukkan respon tingkat rendah misalnya membentuk IgM (timus independen)
  5. Regulasi respon imun terjadi melalui sel Th atau Ts. Non-responder terjadi oleh karena memiliki sel Th yang kurang atau sel Ts yang aktif. Oleh karena itu, maka gen Irnya berupa gen respon atau gen supresor (Baratawidjaja, 2002).

III. TRANSPLANTASI

Transplantasi adalah transfer jaringan atau alat dari satu orang ke orang lain. Tranfusi adalah transfer darah dari satu orang ke orang lain. Transplantasi merupakan pilihan jika alat atau jaringan tubuh vital mengalami kerusakan dan tidak dapat diperbaki kembali atau alat atau jaringan tubuh mengalami kerusakan permanen akibat penyakit. Permasalahan yang umum terjadi pada proses transplantasi adalah penolakan jaringan atau alat tubuh yang diberikan donor kepada resipien.
Antigen transplantasi utama adalah golongan darah ABO dan sistem HLA (Human Leukocyte Antigen) yang polimorfik. Antibodi dan CMI berperan pada penolakan transplan. Kemungkinan penolakan dapat dikurangi dengan transplantasi antara keluarga, typing jaringan, dan imunosupresi. Transplantasi sumsum tulang dapat mengakibatkan graft versus host reaction (reaksi antara tubuh manusia dengan organ transplan).
Umumnya transplantasi dilakukan pada ginjal, jantung, paru-paru, hati, kornea, kulit, dan sumsum tulang. Transplantasi terhadap organ-organ tersebut mempunyai keuntungan ataupun kerugian berupa efek samping sehingga harus dilakukan dengan hati-hati (Baratawidjaja, 2002).

ISTILAH-ISTILAH PADA TRANSPLANTASI
1. ISTILAH-ISTILAH KHUSUS
Istilah khusus pada transplantasi disebut menurut alat jaringan tubuh yang dicangkokkan dari donor ke resipien. Istilah-istilah khusus pada transplantasi adalah sebagai berikut:
  1. Autograft, yaitu memakai jaringan sendiri.
  2. Isograft (syngeneic), yaitu identitas genetik antara donor dan resipien sama (pada kembar monozigot).
  3. Allograft (allogeneic), yaitu donor dan resipien berasal dari spesies yang sama, tetapi secara genetik tidak identik.
  4. Xenograft (xenogeneic), yaitu donor dan resipien dari spesies berbeda.

2. ISTILAH-ISTILAH UMUM
Istilah-istilah umum yang terdapat pada transplantasi adalah sebagai berikut:
  • Hukum transplantasi. Hukum transplantasi mengemukakan bahwa transplan akan diterima jika donor dan resipien mempunyai gen histokompabilitas tertentu yang sama. Berdasarkan penelitian, sistem autograft dan isograft dapat memberikan hasil yang baik, sedangkan allograft memberikan hasil yang kurang baik (ditolak). Umumnya allograft ditolak karena reaksi imun yang ditimbulkan oleh limfosit dan produknya (sistem allograft dianggap benda asing). Reaksi tersebut dipengaruhi oleh sel memory sehingga jaringan kedua yang dicangkokkan dari donor yang sama akan mengakibatkan penolakan kembali yang lebih cepat.
  • Histokompabilitas adalah kemampuan seseorang untuk menerima transplan dari orang lain jika tidak terjadi respon imun
  • Gen histokompabilitas merupakan gen yang menentukan apakah transplan diterima atau ditolak tubuh. Gen yang dapat menolak transpaln banyak , tetapi gen yang terpenting adalah gen Major Histocompability Complex (MHC).
  • Antigen transplantasi. Sebelum transplantasi dilakukan, maka harus ditentukan terlebih dahulu kompabilitas donor dan resipien untuk mendapatkan hasil yang baik dan meminimalisasikan penolakan.

a. Antigen golongan darah
Kompabilitas golongan darah ABO merupakan yang terpenting. Antigen ABO merupakan golongan darah yang ditemukan pada permukaan eritrosit dan gen yang memberi kodenya adalah polimorfik. Antigen karbohidrat ditemukan pada eritrosit dan beberapa jaringan lain. Sebagian besar manusia mempunyai antibodi (isohemaglutinin) yang mengenal antigen tersebut. Olah karena itu orang bergolongan darah A mempunyai antigen terhadap B, orang bergolongan darah B mempunyai antigen terhadap B, orang yang bergolongan darah O mempunyai antigen terhadap A dan B, dan orang yang bergolongan darah AB tidak mempunyai antigen terhadap golongan darah manapun.
b. Tissue typing
Merupakan identifikasi antigen MHC. MHC kelas I menetukan antigen dipermukaan semua sel dalam badan yang memiliki nukleus yang dapat menjadi sasaran penolakan pada transplantasi atas pengaruh sel T sitotoksik, antibodi, dan komplemen. Gen-gen yang memberi kode molekul MHC adalah polimorfik. Antigen yang ditentukan lokus A dan B memberikan respons kuat, sedangkan antigen yang ditentukan oleh lokus C memberikan respons lemah. Antigen MHC kelas II merupakan antigen terpenting pada penolakan transplan. Transplan tidak akan bekerja atau hidup jika donor dan resipien tidak mempunyai satu haplotip DR yang sama. Sel T helper resipien akan memberikan respon terhadap antigen donor, sedangkan sel T helper donor akan memberikan respon yang sama terhadap antigen resipien yang mengakibatkan matinya transplan.
c. Antigen histokompabilitas minor
Antigen histokompabilitas minor antara lain adalah golongan selain ABO dan antigen yang berhunbungan dengan kromosom seks. Umumnya lebih lemah dari antigen MHC dan merupakan antigen yang dijadikan sasaran pada penolakan dengan awitan lambat (Baratawidjaja 2002: 246).
  • Sel Passenger merupakan sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan transplan. Sel passenger sangat penting dalam mensensitasi sel T helper resipien terhadap antigen donor. Interaksi terjadi pada sel-sel tersebut diakibatkan karena keduanya mempunyai profil MHC kelas II. Leukosit dapat berpindah keluar dari transplan dan masuk ke dalam sistem limfe resipien.
  • Crossmatching merupakan sistem pencocokan antara jenis jaringan donor dan resipien dalam golongan darah ABO dan dalam spesifitas molekul MHC kelas I dan II sebanyak mungkin. Semakin tinggi kecocokan antara donor dan resipien maka akan semakin tinggi survival. Crossmatching dilakukan untuk menguji serum resipien terhadap antibodi preformed HLA donor. Jika serum pasien tidak menghancurkan limfosit donor, Mixed Lymphocyte Reaction (MLR) dapat dilakukan untuk menentukan apakah sel donor merangsang blastogenesis dengan adanya limfosit resipien. Antigen ABO penting digunakan karena diekspresikan pada banyak jenis sel dan antibodinya sudah ada pada resipien yang inkompatibel dapat menimbulkan kerusakan jaringan transplan. Lokus MHC dan MHM penting digunakan karena MHC merupakan peyebab induksi terkuat dari reaksi penolakan yang ditimbulkan melalui sel T. Karena MHC sangat polimorfik, menemukan donor resipien yang cocok sangat sulit (kecuali pada kembar identik) (Baratawidjaja, 2002).

JENIS DAN KEDUDUKAN ALAT DAN JARINGAN TUBUH YANG KHUSUS
1. JENIS JARINGAN KHUSUS
Beberapa jaringan transplan allogeneic hanya menimbulkan reaksi lemah. Hal tersebut terjadi karena jaringan tersebut hanya mempunyai beberapa molekul MHC permukaan.

2. KEDUDUKAN ALAT ATAU JARINGAN TUBUH YANG KHUSUS
Lokasi transplan yang jauh dari sistem imun resipien (seperti kornea), tidak mempunyai aliran limfe dan allograft kornea umumnya tidak mensensitiasi resipien.
PENOLAKAN
1. PENOLAKAN PERTAMA DAN KEDUA
Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10–14 hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5–7 hari.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction.
2. PENOLAKAN HIPERAKUT, AKUT, DAN KRONIK
Hiperakut, akut, dan kronik merupakan kecepatan terjadinya penolakan
  • Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang menimbulkan edema dan pendarahan interstisiil dalam jaringan transplan sehingga mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada penolakan hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain itu adalah badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin mengandung elemen seluler seperti eritrosit (Baratawidjaja, 1991).
  • Penolakan akut erupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah penolakan. Penolakan dapat terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya adalah fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit, penurunan fungsi dan aliran darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin. Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit, steroid, dan lainnya.
  • Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft beberapa bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah timbulnya penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna karena kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
  • Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft) dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi. Penolakan tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah dan nekrosis.
  • Penyakit Graft versus Host (GvH) merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan hospes dan menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa, hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal. Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi jika sebelum transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi.
  • Uji antigen histokompatibel. Derajat parity atau disparity antara antigen pada transplantasi mempunyai beberapa cara. Salah satu cara adalah menggunakan berbagai antisera untuk menentukan antigen permukaan dan cara lain adalah mengukur reaksi antara leukosit donor dan resipien. Cara untuk mengukur uji antigen histokompatibel antara lain:
  1. Cara serologis. Antisera diperoleh dari orang yang telah beberapa kali mendapat transplantasi atau tranfusi. Antibodi monoklonal sudah dapat digunakan untuk menemukan antigen yang SD (serologically defined). Limfosit dari donor dan resipien yang tergolong antigen kelas I dan II direaksikan dengan satu seri antibodi yang dapat menentukan tipe serologi dari setiap antigen transplantasi pada sel.
  2. Mixed Leucocyte Reaction (MLR). Leukosit dalam donor dan resipien dibiakkan bersama untuk beberapa hari. Leukosit donor mengandung sel T yang dapat dirangsang untuk berproliferasi atas pengaruh antigen donor. Hal tersebut juga berlaku pada leukosit resipien yang akan berproliferasi dengan adanya alloantigen dari sel donor. Proliferasi dapat diukur dengan 3 H-Thymidine yang semkain besar derajat proliferasi makin banyak bahan radioaktif yang diikat oleh DNA. MLR mengukur seluruh parity dan disparity antara sel donor dengan resipien. Semakin kuat MLR (proliferasi makin besar), maka makin tinggi tingkat disparity antara donor dan resipien, sebaliknya jika MLR yang tidak berproliferasi akan menimbulkan parity (adanya histokompabilitas antara donor dan resipien. MLR merupakan prosedur lama dan memerlukan waktu (beberapa hari), sedangkan tes serologi hanya perlu beberapa jam dan MLR hanya dapat dilakukan pada donor yang hidup.
  3. Tissue typing merupakan teknik dengan menggunakan berbagai antisera sitotoksik (umumnya mAb) terhadap HLA seseorang. Darah donor dan resipien untuk typing dengan sel B (mengekspresikan HLA-1 dan HLA-2) disatukan dengan antibodi sitotoksik. Antibodi yang diikat HLA akan mengaktifkan sistem komplemen yang dapat menghancurkan sel B secara langsung. Banyak laboratorium yang menggunakan teknik PCR untuk HLA typing. Teknik tersebut menentukan urutan nukleotida gen HLA, polimorfisme HLA (berhubungan dengan kerentanan terhadap penyakit).
  4. Crossmatching. Umumnya digunakan untuk memeriksa adanya antibodi preformed terhadap HLA donor pada resipien. Limfosit dari donor dicampur dengan serum dari resipien. Anti-donor antibodi ditemukan dengan adanya lisis sel (atas pengaruh komplemen) atau dengan pewarnaan imunofloresen dan flow cytometry. Adanya antibodi tersebut merupakan kontraindikasi untuk digunakan sebagai donor (Baratawidjaja 2002: 252).

  • Memperpanjang allograft. Semakin besar derajat disparity antara donor dengan resipien, maka makin cepat terjadi penolakan. Beberapa cara agar waktu allograft diperpanjang, yaitu dengan menggunakan obat yang dapat menekan respons imun, antara lain:

Bahan anti-inflamasi

Efek steroid adalah menstabilkan memberan lisosom sehingga mencagah penglepasan enzim lisosom yang dapat merusak jaringan dan mencegah penolakan dan presentasi antigen olah APC ke sel T. Contohnya adalah steroid adrenokortikoid seperti obat Prednison dan Prednisolon.
Anti-metabolit
Berfungsi untuk menekan respons imun. Contohnya azathioprin dan mercaptopurin (mencegah sintesis RNA), Chlorambucil dan siklofosfamid (mengalkilasi DNA dan mempunyai efek anti-metabolit dan mencegah metabolisme RNA).
Bahan imunosupresi
Sebagian besar bahan penekan respon imun bersifat sitotoksik terhadap limfosit dan sel yang sedang berproliferasi atas pengaruh antigen seperti ALS (Anti Lymphocyte Serum) dan steroid. Bahan yang makin banyak digunakan adalah Cyclosporin (sebagai imunosupresan dalam allotransplantasi). Cyclosporin merupakan bahan produk fungi yang mampu memperbaiki masa hidup transplan melalui supresi sel T helper atau dengan meningkatkan aktivitas sel T sitootksik. Efek sampingnya adalah menjadi rentan terhadap infeksi dan peningkatan kejadian penyakit limfoproliferatif.
Enhancement oleh antibodi
Merupakan pencegahan penolakan dan perpanjangan masa hidup transplan oleh antibodi spesifik dan antibodi. Penolakan umumnya terjadi atas peran sel T terhadap CMI. Antibodi dan sel T saling berkompetisi terhadap jaringan asing untuk mengikat antigen transplantasi sehingga antibodi tersebut dapat mencegah penghancuran oleh CMI (Baratawidjaja, 1991).
DAFTAR ACUAN
  • Abbas, A. K., A. H. Lichtman, & J. D. Pober. 1994. Cellular and molecular immunology. 2nd ed. 
  • Baratawidjaja, K.G. 1991. Imunologi dasar. 2nd ed. 
Mh Badrut Tamam
Lecturer Science Communicator Governing Board of Generasi Biologi Indonesia Foundation