Dalam kasus entomologi forensik, Gomes et al. (2006) menyatakan bahwa lalat merupakan invertebrata primer yang mendekomposisi komponen organik pada hewan termasuk juga mayat manusia. Pada saat lalat mengambil materi organik yang ada di dalam tubuh mayat, maka lalat tersebut akan memindahkan telur yang akan berkembang menjadi larva dan pupa (Sukontason et al., 2007). Adanya berbagai perubahan dari berbagai jenis lalat dan serangga lain akan menimbulkan suatu komunitas dalam mayat yang secara ekologi dan evolusi akan terjadi proses kompetisi, predasi, seleksi, penyebaran dan kepunahan lokal dalam tubuh mayat tersebut (Hangeveld, 1989).
Suksesi Populasi Serangga Necrophagous
Di alam banyak ditemukan serangga yang berfungsi sebagai pengurai sisa-sisa organisme yang sudah mati. Diantaranya adalah serangga pemakan bangkai yang dikenal sebagai necrophagous. Dalam membahas kajian entomologi forensik, serangga necrophagous tersebut mengalami dinamika suksesi populasi dari berbagai spesies yang berbeda secara ekologis pada tubuh bangkai (Gambar 1 dan 2). Berbagai macam jenis serangga tersebut akan saling berinteraksi baik bersifat netral, kompetisi, maupun predasi dalam proses dekomposisi bangkai (James, 2010; Tomberlin et al., 2011).
Amendt et al. (2004a) menyebutkan bahwa ada empat kategori secara ekologi untuk mengidentifikasi suatu komunitas pada bangkai/mayat, antara lain:
- Adanya spesies necrophagous yang memakan bangkai/mayat.
- Adanya predator dan parasit pada terhadap spesies necrophagous yang memakan serangga atau golongan Arthropoda yang lain. Terkadang juga ditemukan spesies Schizophagous, yakni spesies yang hadir untuk memakan pada saat pertama kali, namun akan menjadi predator pada tahap larva.
- Adanya spesies omnivora seperti semut, lebah, dan beberapa jenis kumbang yang memakan baik pada bangkai maupun pada koloni serangga yang ada.
- Adanya spesies lain seperti laba-laba yang menggunakan bangkai/mayat untuk tempat tinggalnya.
Selama proses dekomposisi pada bangkai hewan atau manusia, bangkai tersebut akan mengeluarkan senyawa kimia yang dilepaskan ke udara yang mampu menarik serangga necrophagous. Sensor kimia serangga necrophagous sangat sensitif pada senyawa kimia tersebut akan tertarik pada sumber bau tersebut. Senyawa kimia tersebut bersumber dari mekanisme autolisis sel-sel yang melibatkan berbagai macam enzim pendegradasi sel (Gennard, 2007).
Salah satu contoh serangga necrophagous adalah lalat yang masuk ke tubuh manusia dengan tujuan untuk bertelur, pada umumnya lalat memilih dalam lubang tubuh lembab, seperti mulut, hidung, atau mata. Setelah beberapa saat telur menetas, dan larva lalat (belatung) muncul serta memakan pada tubuh tersebut hingga membusuk. Ketika larva telah mencukupi kebutuhan untuk makanannya, maka belatung akan keluar dari tubuh mayat dan mencari tempat untuk membentuk pupa (kepompong). Pada tahap berikutnya dari siklus hidupnya, muncullah generasi berikutnya yang berupa serangga dewasa (imago) yang muncul dari pupa tersebut yang siap memulai siklus selanjutnya (Gambar 3) (Byrd, 2011; Gaensslen, 2009).
Jenis-jenis serangga necrophagous yang sering dijumpai adalah Lalat yang berasal dari famili Calliphoridae, Muscidae, Fanniidae, Sarcophagidae, Piophilidae, Sepsidae, Phoridae, Sphaeroceridae, Heleomyzidae, Stratiomyidae; Kumbang yang meliputi famili Staphylinidae, Histeridae, Silphidae, Cleridae, Trogidae, Dermestidae, Scarabaeidae, Nitidulidae; Tungau; Tawon; Semut; dan Ngengat (Amendt et al., 2004a; Gennard, 2007; Kaneshrajah & Turner, 2004; Oliveira et al., 2011). Diantara jenis-jenis serangga tersebut, terdapat juga serangga yang bertindak sebagai parasit dan predator terhadap serangga necrophagous, kemudian ada juga serangga yang bersifat omnivora (Tabel 1) (Goff, 2003).
Peristiwa dekomposisi melibatkan berbagai aspek selain faktor biotik, yakni faktor abiotik yang meliputi parameter fisik seperti temperatur, kelembaban, dan lain-lain. Menurut Gennard (2007) dan Goff (2003), tahapan dekomposisi terdiri dari lima tahap antara lain:
Tahap1: fresh stage, tahapan dimulai pada saat kematian dan ditandai adanya tanda penggelembungan pada tubuh. Serangga yang pertama kali datang adalah lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae. Lalat betina akan meletakkan telurnya di daerah yang terbuka seperti daerah kepala (mata, hidung, mulut, dan telinga).
Tahap 2: bloated stage, merupakan tahapan pembusukan yang sedang dimulai. Gas yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme bakteri anaerob menyebabkan penggelembungan pada pada perut mayat. Selanjutnya suhu internal naik selama tahapan ini sebagai akibat dari aktivitas bakteri pembusuk dan aktivitas metabolime dari larva lalat. Lalat dari famili Calliphoridae sangat tertarik pada mayat selama tahapan ini. Kemudian selama mengembang akibat adanya gas, cairan dalam tubuh terdorong keluar dari lubang-lubang tubuh dan meresap ke dalam tanah. Cairan tersebut tersusun oleh senyawa seperti amonia yang dihasilkan oleh aktivitas metabolisme dari larva lalat sehingga akan menyebabkan tanah di bawah mayat itu untuk menjadi alkali (basa) dan fauna tanah menjadi tertarik untuk menuju ke mayat.
Tahap 3: decay stage, tahapan ini ditandai adanya kerusakan kulit dan mengakibatkan gas keluar dari tubuh. Larva lalat membentuk gerombolan yang besar pada mayat. Meskipun beberapa serangga predator, seperti kumbang, tawon, dan semut, pada tahap bloated stage, serangga necrophagous dan predator dapat diamati dalam jumlah besar menjelang tahapan ini berakhir. Pada akhir tahap ini, lalat dari famili Calliphoridae dan Sarcophagidae telah menyelesaikan perkembangan siklusnya dan meninggalkan mayat untuk menjadi pupa. Pada akhir tahap ini, larva lalat akan menghilang dari jaringan tubuh pada mayat.
Tahap 4: postdecay stage, pada tahap ini sisa-sisa tubuh seperti kulit, kartilago dan usus sudah mengalami pembusukan. Selanjutnya sisa jaringan tubuh yang masih ada akan mengering. Indikator pada tahap ini adalah hadirnya kumbang dan berkurangnya dominansi lalat di dalam tubuh mayat.
Tahap 5: skeletal stage, pada tahap ini hanya tersisa tulang belulang dan rambut. Tahapan ini tidak jelas serangga apa saja yang hadir. Pada kasus tertentu, kumbang dari famili Nitidulidae terkadang ditemukan. Tubuh mayat sudah mengalami akhir dari dekomposisi.
Pada peristiwa dekomposisi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, spesies-spesies yang ada pada mayat beberapa diantaranya menghasilkan senyawa racun yang berasal dari serangga (entomotoksin). Toksin tersebut juga dapat digunakan untuk mengestismasi waktu kematian (Goff et al., 1994). Berdasarkan adanya racun pada serangga tersebut, maka muncullah kajian entomotoksikologi yang mempelajari sampel toksin yang terdapat pada serangga selama proses dekomposisi dan digunakan untuk mendeteksi adanya obat dan berbagai macam toksin pada jaringan tubuh mayat (Introna et al., 2001).
Berdasarkan penelitian Tracqui et al. (2004) telah ditemukan 29 macam senyawa necropsies atau senyawa yang bukan dari tubuh mayat (meliputi benzodiazepines, barbiturates, antidepressants, phenothiazine, opiates, cannabinoids, meprobamate, digoxin dan nefopam). Dalam penelitian tersebut menyatakan ada korelasi antara konsentrasi obat pada tubuh manusia terhadap larva.
Pada kasus entomotoksikologi tersebut, serangga-serangga yang ditemukan pada mayat dapat digunakan untuk analisis toksikologi. Namun ada kelemahan jika menggunakan analisis ini untuk menghitung interval postmortem jika salah dalam menghitung tahapan perkembangan serangga. Sehingga alternatifnya adalah mengkaji efek biomakumulasi obat dan metabolismenya pada serangga necrophagous dan efeknya terhadap laju perkembangannya (Amendt et al., 2004a).
Estimasi Waktu Kematian
Ahli entomologi forensik sering memeriksa bukti serangga pada mayat manusia dan menetukan berapa lama serangga tersebut berada di mayat. Periode waktu tersebut di interpretasikan dalam postmortem interval (PMI) atau waktu sejak kematian. Analsis PMI terbagi menjadi dua, yakni precolonization interval (pre-CI) dan postcolonization interval (post-CI). Adapun penjelasan masing-masing interval tertera pada Gambar 4 (Tomberlin et al., 2011).
Untuk mengukur waktu kematian dapat digunakan suhu yang dibutuhkan oleh serangga untuk hidup. Serangga merupakan hewan poikilotermik atau hewan yang suhu tubuh dan aktivitas metabolismenya dipengaruhi oleh lingkungan. Serangga menggunakan energi panas (thermal unit) untuk pertumbuhan dan perkembangnya. Sehingga kebutuhan energi selama masa hidupnya dapat dikalkulasi. Thermal unit disebut juga hari derajat (degree days – oD ) yang mana nilai oD dapat ditambahkan bersamaan yang akan menghasilkan nilai accumulated degree days (ADD). Jika periode thermal unit pendek maka bisa digunakan accumulated degree hours (ADH). Dari peristiwa tersebut, maka waktu kematian dpat dihitung dengan menggunakan rumus:
ADH= Waktu(hours) × (temperatur− temperatur basal)
ADD= Waktu(days) × (temperatur− temperatur basal)
Waktu yang digunakan adalah waktu tahapan perkembangan serangga yang dapat diketahui dari literatur yang sudah ada. Sementara temperatur yang digunakan adalah temperatur lingkungan yang bisa diperoleh melalui stasium badan meteorologi. Sementara temperatur basal adalah temperatur fisiologi terendah yang setiap serangga memiliki nilai temperatur yang berbeda-beda (Tabel 2).
ADH = 68 × (26,7 – 2) = 1679,6
ADD = 1679,6/24 = 7
Dari perhitungan tersebut dapat diperkirakan waktu kematiannya adalah 7 hari (Gennard, 2007).
Penulis: Mh Badrut Tamam
Referensi:
- Allen, Robert T. 2003. ‘Diplura’ (ed), Encyclopedia of Insects, Academic Press, Elseiver. pp. 339.
- Amendt, J., Roman Krettek, and Richard Zehner. 2004a. Forensic Entomology. Naturwissenschaften 91:51–65.
- Amendt, J., H. Klotzbach. M.Benecke. R. Krettek, R.Zehner1. 2004b. Forensische Entomologie. Rechtsmedizin, 14: 127–140.
- Byrd, J. 2011. Information about the development and appearance of some common forensically important insects.
- Elkinton, Joseph S. 2003. ‘Population Ecology’ (ed), Encyclopedia of Insects, Academic Press, Elseiver. pp. 933.
- Introna, F., Campobasso CP, and Goff ML. 2001. Entomotoxicology. Forensic Sci Int. 120 (1-2): 42-7.
- James, McNeil. 2010. The Ecology of Death: Forensic Entomology as a Teaching Tool. American Biology Teacher, 72:3 p153-155.
- Gaensslen, R.E. 2009. Essentials of Forensic Science: Blood, Bugs, and Plants. NY: Facts On File, Inc.
- Gennard, Dorothy E. 2007. Forensic entomology: an introduction. England: John Wiley & Sons Ltd.
- Goff, M. Lee. ‘Forensic Entomology’ (ed), 2003. Encyclopedia of Insects, Academic Press, Elseiver. pp. 437-442.
- Goff, L. Lee and Lord W.D. 1994. Entomotoxicology. A new area for forensic investigation. Am J Forensic Med Pathol. 15(1):51-7.
- Hengeveld R (1989) Dynamics of biological invasions. New York: Chapman & Hall.
- Kaneshrajah G., and Bryan Turner. 2004. Calliphora vicina larvae grow at different rates on different body tissues. Int J Legal Med,118 : 242–244
- Moore, Janet. 2006. An Introduction to the Invertebrates, 2nd ed. UK: Cambridge University Press.
- Oliveira, A.R., A. Farinha, M.T. Rebelo and D. Dias. 2011. Forensic entomology: Molecular identification of blowfly species (Diptera: Calliphoridae) in Portugal. Forensic Science International: Genetics Supplement Series 3, e439–e440.
- Pai, C.Y., Ming-Cheng Jien, Li-Hong Li, Yen-Yuh Cheng, and Chiou-Herr Yang. 2007. Application of Forensic Entomology toPostmortem Interval Determination ofa Burned Human Corpse: A HomicideCase Report from Southern Taiwan. J Formos Med Assoc, Vol. 106 No. 9: 792-798.
- Sukontason, K.L., Radchadawan Ngern-Klun, Duanghatai Sripakdee and Kom Sukontason. 2007. Identifying fly puparia by clearing technique: application to forensic entomology. Parasitol Res 101:1407–1416.
- Tomberlin, J.K., R. Mohr, M.E. Benbow, A.M. Tarone, and S. VanLaerhoven. 2011. A Roadmap for Bridging Basic and Applied Research in Forensic Entomology. Annu. Rev. Entomol. 2011. 56:401–21
- Tracqui A., C. Keyser-Tracqui, P. Kintz, and B. Ludes. 2004. Entomotoxicology for the forensic toxicologist: much ado about nothing? Int J Legal Med,118: 194–196.
Leave a Reply