Trichoderma harzianum merupakan salah satu jenis cendawan yang digunakan sebagai agen pengendali hayati untuk penyakit layu pada tanaman pisang atau layu Panama yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc). Trichoderma harzianum diklasifikasikan ke dalam famili Hypocreasceae, ordo Hypocroales, kelas Sordariomycetes, sub-filum Pezizomycotina, filum Ascomycota berdasarkan klasifikasi Rifai tahun 1969.
Trichoderma harzianum mampu menghambat masa inkubasi F. oxysporum f.sp. zingiberi pada jahe (Soesanto et al. 2005). Penghambatan aktivitas ini berfungsi untuk mencegah terjadinya kerusakan berat akibat patogen. Penghambatan aktivitas yang dilakukan oleh Trichoderma harzianum adalah dengan membentuk dan menghasilkan senyawa kimiawi yang kemudian senyawa tersebut ditranslokasikan ke seluruh bagian inang melalui pembuluh (Soesanto & Rahayuniati 2009).
Senyawa kimiawi yang dihasilkan oleh Trichoderma harzianum berupa metabolit sekunder seperti fenol. Fenol yang dihasilkan oleh Trichoderma harzianum masuk ke pembuluh tanaman pisang dan mengakibatkan peningkatan konsentrasi fenol terlarut pada tanaman pisang. Peningkatan kandungan fenol diindikasilkan dengan meningkatnya kandungan glikosida, tanin, dan saponin. Peningkatan kandungan fenol juga akan meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit, baik ketahanan lokal maupun sitemik, dan juga mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap stres lingkungan. Mekanisme peningkatan kandungan fenol ini tidak akan menghambat pertumbuhan tanaman dan akan meningkatkan produksi tanaman (Soesanto & Rahayuniati 2009).
Trichoderma harzianum juga menghasilkan metabolit sekunder berupa enzim litik, seperti khitinase, glukanase, dan protease, yang mendegradasi dinding sel cendawan. Hifa dari Trichoderma harzianum akan melilit hifa dari cendawan patogen sehingga hifa cendawan patogen mengalami vakuolasi, lisis, dan akhirnya hancur. Setelah hifa cendawan patogen hancur, Trichoderma harzianum melakukan penetrasi dan menggunakan isi hifa cendawan patogen sebagai sumber makanan (Berlian et al. 2013).
Metabolit sekunder lain yang dihasilkan oleh Trichoderma harzianum adalah berupa antibiotik, seperti alkyl pyrones, isonitriles (isonitrin A-D, isonitrinic acids E dan F), polyketides (harzianolide), dan peptaibols (trichorzianines). Alkyl pyrones bersifat antijamur dan dapat menghambat perkecambahan dari Colletotrichum capsici. T. harzianum juga menghasilkan 6-n-pentyl-2H-pyran-2-1 dan 6-n-pentenyl-2H-pyran-2-1 yang berfungsi mengendalikan Rhizoctonia solani penyebab rebah semai. Isonitriles secara umum efektif untuk mengendalikan F. oxysporum, R. solani, dan Pythium ultimum.
Harzianolide dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen. Harzianolide menghambat perkecambahan spora F. oxysporum f.sp. melonis dan klamidospora F. oxysporum f.sp. vasinfectum. Selain itu, harzianolide juga menghambat perkecambahan konidia dan klamidospora F. oxysporum, F. moniliforme, F. culmorum, Gaeumannomy graminis, dan Cladosporium herbarum. Trichorzianines yang dihasilkan oleh Trichoderma harzianum merupakan peptida dengan 19-residu asam amino yang sebagian besar tersusun oleh α-aminoisobutyric acid dan dapat menekan pertumbuhan Sclerotium rolfsii (Berlian et al. 2013). Trichoderma harzianum juga efektif menghambat pertumbuhan Rigidoporus microporus yang merupakan salah satu cendawan patogen yang menular melalui tanah.(Yulia et al. 2017).
Penulis: Ade Aliyya Puspita Sari
Referensi:
- Berlian I et al. 2013. Mekanisme antagonisme Trichoderma spp. terhadap beberapa patogen tular tanah. Warta Perkaretan. 32(2): 74-82.
- Soesanto L, et al. 2005. Potensi agensia hayati dan nabati dalam mengendalikan penyakit busuk rimpang jahe. Jurnal HPT Tropika. 5(1): 50-57.
- Soesanto L, Rahayuniati RF. 2009. Pengimbasan ketahanan bibit pisang ambon kuning terhdap penyaku layu Fusarium dengan beberapa jamur antagonis. Jurnal HPT Tropika. 9(2): 130-140.
- Yulia E, et al. 2017. Antagonisme Trichoderma spp. terhadap jamur Rigidoporus lignosus (Klotzsch) Imazeki dan penekanan penyakit jamur akar putih pada tanaman karet. Jurnal Agrikultura. 28(1): 47-55.
Leave a Reply