Satwa Liar, Lepas Liar atau Kandang?

waktu baca 3 menit
Jumat, 6 Apr 2018 19:32 0 856 Mh Badrut Tamam
Akhir-akhir ini dunia konservasi Indonesia kembali dikejutkan oleh kabar yang kurang menyenangkan. Diketahui terdapat beberapa pejabat kita yang ternyata memelihara satwa langka yang dilindungi di kediaman pribadi mereka. Bahkan diantara pejabat-pejabat tersebut, terdapat pejabat kehutanan yang memelihara satwa dilindungi tanpa dengan izin yang seharusnya. Lalu, apakah dengan memelihara satwa liar merupakan salah satu cara yang tepat untuk mencegahnya dari kepunahan?
Pada dasarnya terdapat beberapa alasan mengapa orang-orang senang memelihara satwa liar. Ada yang karena untuk menaikkan harga diri, menyatakan kekuasaan dan kekuatan, merasa iba, atau untuk kesenangan dan keseruan belaka. Beberapa pengusaha minyak di timur tengah diketahui gemar memelihara singa, cheetah, dan harimau untuk menunjukkan betapa kayanya mereka. Beberapa pekerja di perkebunan kelapa sawit mengaku memelihara orang utan dikarenakan iba akibat ekspresi wajah hewan tersebut yang nampak sedih. 
Kehadiran kebun binatang turut menjadi perdebatan diantara para pakar konservasi. Pada awalnya kehadiran kebun binatang adalah sebagai sarana edukasi bagi para masyarakat kota untuk dapat lebih mengenal dan memahami satwa liar. Lebih lanjut lagi, kebun binatang juga berfungsi sebagai sarana penelitian bagi para ilmuan untuk mempelajari tingkah laku satwa liar. Konsep edukasi seperti ini pun akhirnya dikembangkan dengan tujuan meningkatkan populasi satwa-satwa langka di dunia dengan menggunakan konsep penangkaran. Contoh keberhasilan dari program ini antara lain adalah meningkatnya populasi burung Jalak bali di Pulau Bali dan populasi badak Sumatera di Sumatera Rhino Sanctuary (SRS). Namun hal ini mulai menjadi konflik ketika kebun binatang tidak mampu mengelola satwa koleksi mereka dengan baik. Sebut saja kematian harimau Sumatera dan jerapah di Kebun Binatang Surabaya adalah salah satu contohnya.
Pada hakikatnya satwa liar membutuhkan habitat aslinya yang kompleks untuk dapat bertahan hidup. Hal ini mencakup faktor fisik, biologi, dan kimia di lingkungannya. Kebun binatang dan pusat penangkaran hewan berusaha mereplikasi keadaan asli habitat satwa koleksi mereka. Namun tetap saja terdapat beberapa komponen habitat asli yang tidak bisa disajikan dalam lingkungan kebun binatang, misalkan daya jelajah. Oleh karena itu, sebaik-baiknya kebun binatang, habitat alami masih menjadi tempat terbaik bagi satwa liar hidup. Namun terkadang menjaga habitat alami satwa liar adalah tantangan tersulit yang harus dihadapi.
Lalu, apakah hal ini berarti bahwa kebun binatang sebaiknya ditutup? Tidak juga. Hal ini dikarenakan kebun binatang dan pusat penangkaran satwa juga memberikan kontribusi positif dalam dunia konservasi yaitu melalui fungsi edukasi dan peningkatan populasi yang dilakukannya. Namun untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut bukanlah perkara yang mudah. Dibutuhkan usaha keras serta kerjasama berbagai stake holder, termasuk pemerintah. Apabila suatu kebun binatang tidak mampu mewujudkannya, maka justru memberikan dampak negatif terhadap upaya konservasi satwa liar. Jadi, mewujudkan kebun binatang yang ideal saja susah, apalagi jika satwa liar tersebut dipelihara sendiri di dalam kandang.
Penulis: Dendy Suryo Abaddy

Referensi:
  1. Alikodra, H. (2002). Pengelolaan Satwaliar. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  2. Alikodra. H.S., et al. (2013). Teknik Konservasi Badak Indonesia. Jakarta: Literati-books.

Mh Badrut Tamam

Mh Badrut Tamam

Lecturer
Science Communicator
Governing Board of Generasi Biologi Indonesia Foundation

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Arsip

Kategori

Kategori

Arsip

LAINNYA
x