Ular merupakan salah satu hewan yang kaya akan mitos, mulai dari yang sepintas masuk akal hingga yang sangat nyeleneh. Setiap negara dan daerah bisa jadi mempunyai mitosnya sendiri-sendiri tentang ular, entah mencakup seluruh jenis ular itu sendiri ataupun spesifik pada satu-dua spesies ular saja.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat komunal yang banyak berangkat dari budaya bertani dan berkebun. Salah satu alasan utama mengapa struktur masyarakat dapat bertahan adalah dengan cerita-cerita yang disampaikan sebagai pengalaman yang dapat diambil pelajarannya. Dari sinilah biasanya muncul cerita-cerita yang sepintas aneh. Terlebih di masa lalu, ketika literasi masyarakat masih rendah dan belum tersentuh sains.
Salah satu cerita yang beredar sejak dahulu di berbagai wilayah di Indonesia (khususnya di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) adalah adanya jenis-jenis ular tertentu yang dapat mengeluarkan suara kokok seperti ayam jantan. Setidaknya ada tiga ular yang sering “dituduh” sebagai ular berkokok ini, yaitu ular king kobra/ular anang/ular tedung selar (Ophiophagus hannah), ular kobra (lebih cenderung pada kobra Sumatra/tedung emas/ular biludah) atau Naja sumatrana, dan ular jali/ular kayu/bandotan macan (Ptyas mucosus).
Klaim ular yang bisa berkokok ini umumnya datang dari cerita-cerita di masyarakat, misalnya si A yang mengklaim pernah mendengar suara seperti ayam berkokok di hutan, kemudian setelah ditelusuri, ternyata ditemukan seekor ular yang merupakan sumber suara. Belakangan, dengan semakin meningkatnya konsumsi media sosial, berita tentang ular berkokok ini juga menyebar lewat media sosial seperti Facebook dan Instagram, menampilkan video dengan ular dan suara.
Meskipun demikian, jika ditinjau secara ilmiah, tidak ada jenis ular yang dapat mengeluarkan suara kokok maupun suara yang menyerupai, seperti suara burung. Suara yang dihasilkan ular hanyalah sebatas:
- Desisan (hissing) ketika udara dari paru-paru ular dilewatkan ke daerah glotis/juluran tenggorokan ular. Desisan bisa berupa desisan pendek dan keras (ular kobra) maupun yang lebih rendah dan panjang (ular piton, ular jali).
- Geraman (growling) ketika udara dari paru-paru ular dilewatkan melalui trakea berstruktur khusus yang mempunyai lubang-lubang pada jarak tertentu (ular king kobra dan ular hijau ekor kelabu).
- Dekik/derik (rattle) ketika struktur berrongga di ujung ekor ular digetarkan dengan amat cepat sehingga menghasilkan rentetan suara derik (ular derik).
Ular tidak dapat mengeluarkan suara yang kompleks seperti pada hewan mamalia atau burung, karena dua poin utama:
- Ular bukan merupakan hewan yang mengandalkan indera pendengarannya untuk bertahan hidup. Sebagian besar informasi lingkungan diperoleh ular melalui indera penciumannya yang tajam, yaitu perangkat lidah dan organ Jacobson. Faktanya, telinga bagian luar dan tengah ular mereduksi sehingga ular dapat dikatakan tidak mampu mendengarkan suara dari udara secara langsung sebagaimana manusia mendengar suara, melainkan hanya sebatas peka pada getaran. Sementara, ayam mengeluarkan suara kokok karena memang bertujuan (misalnya mengklaim tempat mencari makan) dan ayam memiliki indera pendengaran yang berkembang sehingga suara kokok mereka dapat didengar oleh ayam lain.
- Ular tidak memiliki struktur faring yang memungkinkan untuk menghasilkan suara yang rumit. Suara yang dapat dihasilkan ular hanya sebatas desisan dan geraman–itu juga tidak semua ular bisa melakukannya.
Lebih lanjut lagi, jika dicermati, video-video yang menampilkan “ular berkokok” merupakan video editan. Biasanya video-video semacam ini merekam perjumpaan dengan ular (umumnya king kobra atau kobra) yang sedang dalam pose defensif berdiri dan mengembangkan tudung, kemudian diedit dengan tambahan suara burung atau suara ayam. Video-video ini bukan merupakan bukti ilmiah adanya ular berkokok dan hanya sebatas konten belaka.
Mitos ular berkokok ini bisa saja berasal dari orang-orang yang mengaku berjumpa dengan ular berkokok padahal sebenarnya suara kokok itu berasal dari ayam atau burung yang ada di dekat situ. Hanya saja, ketika si ular terlihat, orang yang menjumpainya ini langsung mengaitkan suara burung dengan suara ular, meski sebenarnya sumber suaranya bukanlah ular itu sendiri. Ini rawan terjadi ketika kita tidak mengetahui dengan pasti dari mana sumber suara berasal dan langsung mengasumsikan suatu objek menjadi sumber suaranya, padahal belum tentu. Kesalahan penalaran seperti ini juga dapat terjadi jika si orang tersebut sudah tersugesti bahwa di daerah tersebut terdapat ular yang bisa berkokok.
Referensi:
Bruce A. Young. 1991. Morphological basis of “growling” in the king cobra, Ophiophagus Hannah, https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1002/jez.1402600302
Leave a Reply