Prinsip, Metode, dan Teknik Isolasi DNA

waktu baca 10 menit
Kamis, 16 Agu 2012 15:22 0 14672 Mh Badrut Tamam

Molekul DNA dalam suatu sel dapat diekstraksi atau diisolasi untuk berbagai macam keperluan seperti amplifikasi dan analisis DNA melalui elektroforesis. Isolasi DNA dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari bahan lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat. Prisnsip utama dalam isolasi DNA ada tiga yakni penghancuran (lisis), ektraksi atau pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Corkill dan Rapley, 2008; Dolphin, 2008). Menurut Surzycki (2000), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses isolasi DNA antara lain harus menghasilkan DNA tanpa adanya kontaminan seperti protein dan RNA; metodenya harus efektif dan bisa dilakukan untuk semua spesies metode yang dilakukan tidak boleh mengubah struktur dan fungsi molekul DNA; dan metodenya harus sederhana dan cepat.

Isolasi DNA tanaman, isolasi DNA buah, isolasi DNA bakteri, dan isolasi DNA hewan pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Prisnsip isolasi DNA pada berbagai jenis sel atau jaringan pada berbagai organisme pada dasarnya sama namun memiliki modifikasi dalam hal teknik dan bahan yang digunakan. Bahkan beberapa teknik menjadi lebih mudah dengan menggunakan kit yang diproduksi oleh suatu perusahaan sebagai contoh kit yang digunakan untuk isolasi DNA pada tumbuhan seperti Kit Nucleon Phytopure sedangkan untuk isolasi DNA pada hewan digunakan GeneJETTM Genomic DNA Purification Kit. Namun tahapan-tahapan isolasi DNA dalam setiap langkahnya memiliki protokol sendiri yang disesuaikan dengan keperluan. Penggunaan teknik isolasi DNA dengan kit dan manual memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode konvensional memiliki kelebihan harga lebih murah dan digunakan secara luas sementara kekurangannya membutuhkan waktu yang relatif lama dan hasil yang diperoleh tergantung jenis sampel. 


Silahkan baca juga: Isolasi RNA

1. Tahapan Lisis

Tahap pertama dalam isolasi DNA adalah proses perusakan atau penghancuran membran dan dinding sel. Pemecahan sel (lisis) merupakan tahapan dari awal isolasi DNA yang bertujuan untuk mengeluarkan isi sel (Holme dan Hazel, 1998). Tahap penghancuran sel atau jaringan memiliki beberapa cara yakni dengan cara fisik seperti menggerus sampel dengan menggunakan mortar dan pestle dalam nitrogen cair atau dengan menggunakan metode freezing-thawing dan iradiasi (Giacomazzi et al., 2005). Cara lain yakni dengan menggunakan kimiawi maupun enzimatik. Penghancuran dengan menggunakan kimiawi seperti penggunaan detergen yang dapat melarutkan lipid pada membran sel sehingga terjadi destabilisasi membran sel (Surzycki, 2000). Sementara cara enzimatik seperti menggunakan proteinase K seperti untuk melisiskan membran pada sel darah (Khosravinia et al., 2007) serta mendegradasi protein globular maupun rantai polipeptida dalam komponen sel (Brown, 2010; Surzycki (2000). 

Pada proses lisis dengan menggunakan detergen, sering digunakan sodium dodecyl sulphate (SDS) sebagai tahap pelisisan membran sel. Detergen tersebut selain berperan dalam melisiskan membran sel juga dapat berperan dalam mengurangi aktivitas enzim nuklease yang merupakan enzim pendegradasi DNA (Switzer, 1999). Selain digunakan SDS, detergen yang lain seperti cetyl trimethylammonium bromide (CTAB) juga sering dipakai untuk melisiskan membran sel pada isolasi DNA tumbuhan (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Parameter keberhasilan dalam penggunaan CTAB bergantung pada beberapa hal. Pertama, Konsentrasi NaCl harus di atas 1.0 M untuk mencegah terbentuknya kompleks CTAB-DNA. Karena jumlah air dalam pelet sel sulit diprediksi, maka penggunaan CTAB sebagai pemecah larutan harus dengan NaCl dengan konsentrasi minimal 1.4 M. Kedua, ekstrak dan larutan sel yang mengandung CTAB harus disimpan pada suhu ruang karena kompleks CTAB-DNA bersifatinsolublepada suhu di bawah 15°C. Ketiga, penggunaan CTAB dengan kemurnian yang baik akan menentukan kemurnian DNA yang didapatkan dan dengan sedikit sekali kontaminasi polisakarida. Setelah ditambahkan CTAB, sampel diinkubasikan pada suhu kamar. Tujuan inkubasi ini adalah untuk mencegah pengendapan CTAB karena CTAB akan mengendap pada suhu 15°C. Karena efektivitasnya dalam menghilangkan polisakarida, CTAB banyak digunakan untuk purifikasi DNA pada sel yang mengandung banyak polisakarida seperti terdapat pada sel tanaman dan bakteri gram negatif seperti Pseudomonas, Agrobacterium, dan Rhizobium (Surzycki, 2000). 

Dalam penggunaan buffer CTAB seringkali ditambahkan reagen-reagen lain seperti NaCl, EDTA, Tris-HCl, dan 2-mercaptoethanol. NaCl berfungsi untuk menghilangkan polisakarida sementara 2-mercaptoethanol befungsi untuk menghilangkan kandungan senyawa polifenol dalam sel tumbuhan (Ranjan et al., 2010). 2-mercaptoethanol dapat menghilangkan polifenol dalam sel tanaman dengan cara membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa polifenol yang kemudian akan terpisah dengan DNA (Lodhi et al., 1994). Senyawa polifenol perlu dihilangkan agar diperoleh kualitas DNA yang baik (Moyo et al., 2008). Polifenol juga dapat menghambat reaksi dari enzim Taq polimerase pada saat dilakukan amplifikasi. Disamping itu polifenol akan mengurangi hasil ektraksi DNA serta mengurangi tingkat kemurnian DNA (Porebskiet al., 1997). Penggunaan 2-mercaptoethanol dengan pemanasan juga dapat mendenaturasi protein yang mengkontaminasi DNA (Walker dan Rapley, 2008). 

Konsentrasi dan pH dari bufer yang digunakan harus berada dalam rentang pH 5 sampai 12. Larutan buffer dengan pH rendah akan mengkibatkan depurifikasi dan mengakibatkan DNA terdistribusi ke fase fenol selama proses deproteinisasi. Sedangkan pH larutan yang tinggi di atas 12 akan mengakibatkan pemisahan untai ganda DNA. Fungsi larutan buffer adalah untuk menjaga struktur DNA selama proses penghancuran dan purifikasi sehingga memudahkan dalam menghilangkan protein dan RNA serta mencegah aktivitas enzim pendegradasi DNA dan mencegah perubahan pada molekul DNA. Untuk mengoptimalkan fungsi larutan buffer, dibutuhkan konsentrasi, pH, kekuatan ion, dan penambahan inhibitor DNAase dan detergen (Surzycki 2000). 


2. Tahapan Ekstraksi

Pada tahapan ekstraksi DNA, seringkali digunakan chelating agent seperti ethylenediamine tetraacetic acid (EDTA) yang berperan menginaktivasi enzim DNase yang dapat mendenaturasi DNA yang diisolasi, EDTA menginaktivasi enzim nuklease dengan cara mengikat ion magnesium dan kalsium yang dibutuhkan sebagai kofaktor enzim DNAse (Corkill dan Rapley, 2008). DNA yang telah diekstraksi dari dalam sel selanjutnya perlu dipisahkan dari kontaminan komponen penyusun sel lainnya seperti polisakarida dan protein agar DNA yang didapatkan memiliki kemurnian yang tinggi. Fenol seringkali digunakan sebagai pendenaturasi protein, ekstraksi dengan menggunakan fenol menyebabkan protein kehilangan kelarutannya dan mengalami presipitasi yang selanjutnya dapat dipisahkan dari DNA melalui sentrifugasi (Karp, 2008). Bettelheim dan Landesberg (2007) menyebutkan bahwa setelah sentrifugasi akan terbentuk 2 fase yang terpisah yakni fase organik pada lapisan bawah dan fase aquoeus (air) pada lapisan atas sedangkan DNA dan RNA akan berada pada fase aquoeus setelah sentrifugasi sedangkan protein yang terdenaturasi akan berada pada interfase dan lipid akan berada pada fase organik (Gambar 1). Selain fenol, dapat pula digunakan campuran fenol dan kloroform atau campuran fenol, kloroform, dan isoamil alkohol untuk mendenaturasi protein. Ekstrak DNA yang didapat seringkali juga terkontaminasi oleh RNA sehingga RNA dapat dipisahkan dari DNA ekstrak dengan cara pemberian RNAse (Birren, et al., 1997; Clark, 2010). 




Gambar 1. Asam nukleat berada pada lapisan air setelah disentrifugasi pada tahapan ekstraksi (Clark, 2010). 

Asam nukleat adalah molekul hidrofilik dan bersifat larut dalam air. Disamping itu, protein juga mengandung residu hidrofobik yang mengakibatkan protein larut dalam pelarut organik. Berdasarkan sifat ini, terdapat beberapa metode deproteinisasi berdasarkan pemilihan pelarut organik. Biasanya pelarut organik yang digunakan adalah fenol atau kloroform yang mengandung 4% isoamil alkohol. Penggunaan kloroform isoamil alkohol (CIA) berdasarkan perbedaan sifat pelarut organik. Kloroform tidak dapat bercampur dengan air dan kemampuannya untuk mendeproteinisasi berdasarkan kemampuan rantai polipeptida yang terdenaturasi untuk masuk atau termobilisasi ke dalam fase antara kloroform – air. Konsentrasi protein yang tinggi pada fase antara tersebut dapat menyebabkan protein mengalami presipitasi. Sedangkan lipid dan senyawa organik lain akan terpisah pada lapisan kloroform (Clark, 2010). 
Proses deproteinisasi yang efektif bergantung pada besarnya fase antara kloroform-air. Proses ini dapat dilakukan dengan membentuk emulsi dari air dan kloroform. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan penggojogan atau sentrifugasi yang kuat karena kloroform tidak dapat bercampur dengan air. Isoamil alkohol berfungsi sebagai emulsifier dapat ditambahkan ke kloroform untuk membantu pembentukan emulsi dan meningkatkan luas permukaan kloroform-air yang mana protein akan mengalami presipitasi. Penggunaan kloroform isoamil alkohol ini memungkinkan untuk didapatkan DNA yang sangat murni, namun dengan ukuran yang terbatas (20.000–50.000 bp). Fungsi lain dari penambahan CIA ini adalah untuk menghilangkan kompleks CTAB dan meninggalkan DNA pada fase aquoeus. DNA kemudian diikat dari faseaquoeus dengan presipitasi etanol (Surzycki, 2000). 

3. Tahapan Pemisahan DNA

Setelah proses ekstraksi, DNA yang didapat dapat dipekatkan melalui presipitasi (pemisahan). Pada umumnya digunakan etanol atau isopropanol dalam tahapan presipitasi. Kedua senyawa tersebut akan mempresipitasi DNA pada fase aquoeus sehingga DNA menggumpal membentuk struktur fiber dan terbentuk pellet setelah dilakukan sentrifugasi (Switzer, 1999).Hoelzel (1992) juga menambahkan bahwa presipitasi juga berfungsi untuk menghilangkan residu-residu kloroform yang berasal dari tahapan ekstraksi. 
Menurut Surzycki (2000), prinsip-prinsip presipitasi antara lain pertama, menurunkan kelarutan asam nukleat dalam air. Hal ini dikarenakan molekul air yang polar mengelilingi molekul DNA di larutan aquoeus. Muatan dipole positif dari air berinteraksi dengan muatan negatif pada gugus fosfodiester DNA. Interaksi ini meningkatkan kelarutan DNA dalam air. Isopropanol dapat bercampur dengan air, namun kurang polar dibandingkan air. Molekul isopropanol tidak dapat berinteraksi dengan gugus polar dari asam nukleat sehingga isopropanol adalah pelarut yang lemah bagi asam nukleat; kedua, penambahan isopropanol akan menghilangkan molekul air dalam larutan DNA sehingga DNA akan terpresipitasi; ketiga, penggunaan isopropanol dingin akan menurunkan aktivitas molekul air sehingga memudahkan presipitasi DNA. 
Pada tahapan presipitasi ini, DNA yang terpresipitasi akan terpisah dari residu-residu RNA dan protein yang masih tersisa. Residu tersebut juga mengalami koagulasinamun tidak membentuk struktur fiber dan berada dalam bentuk presipitat granular.Pada saat etanol atau isopropanol dibuang dan pellet dikeringanginkan dalam tabung, maka pellet yang tersisa dalam tabung adalah DNA pekat.Proses presipitasikembali dengan etanol atau isopropanol sebelum pellet dikeringanginkan dapat meningkatkan derajat kemurnian DNA yang diisolasi (Bettelheim dan Landesberg, 2007). Keller dan Mark (1989) menerangkan bahwa pencucian kembali pellet yang dipresipitasi oleh isopropanol dengan menggunakan etanol bertujuan untuk menghilangkan residu-residu garam yang masih tersisa. Garam-garam yang terlibat dalam proses ekstraksi bersifat kurang larut dalam isopropanol sehingga dapat terpresipitasi bersama DNA, oleh sebab itu dibutuhkan presipitasi kembali dengan etanol setelah presipitasi dengan isopropanol untuk menghilangkan residu garam (Ausubel et al., 2003). 
Setelah dilakukan proses presipitasi dan dilakukan pencucian dengan etanol, maka etanol kemudian dibuang dan pellet dikeringanginkan, perlakuan tersebut bertujuan untuk menghilangkan residu etanol dari pelet DNA. Penghilangan residu etanol dilakukan dengan cara evaporasi karena etanol mudah menguap (Surzycki, 2000). Pada tahap pencucian biasanya etanol dicampur dengan ammonium asetat yang bertujuan untuk membantu memisahkan kontaminan yang tidak diinginkan seperti dNTP dan oligosakarida yang terikat pada asam nukleat (Sambrook et al., 2001). 
Setelah pellet DNA dikeringanginkan, tahap selanjutnya adalah penambahan buffer TE ke dalam tabung yang berisi pellet dan kemudian disimpan di dalam freezer dengan suhu sekitar -20ºC. Verkuil et al. (2008) menyatakan bahwa buffer TE dan penyimpanan suhu pada -20ºC bertujuan agar sampel DNA yang telah diekstraksi dapat disimpan hingga waktu berminggu-minggu. Keller dan Mark (1989) juga menjelaskan bahwa pelarutan kembali dengan buffer TE juga dapat memisahkan antara RNA yang mempunyai berat molekul lebih rendah dibandingkan DNA sehingga DNA yang didapatkan tidak terkontaminasi oleh RNA dan DNA sangat stabil ketika disimpan dalam keadaan terpresipitasi pada suhu -20ºC. 

Gambar 2. Proses pufrifikasi DNA dengan menggunakan metode silika dan kolom kromatografi (a) proses pengikatan DNA ke silika dengan bantuan perubahan konsentrasi garam, (b) DNA dielusi untuk memperoleh DNA (Brown, 2010). 


Kit Isolasi DNA

Isolasi DNA juga dapat dilakukan dengan menggunakan kit yang sudah diproduksi oleh beberapa perusahan untuk mempermudah dan mempercepat proses isolasi DNA. Kit isolasi juga disesuaikan dengan kebutuhan oleh konsumen dan jenis sel yang akan digunakan. Berikut adalah bagan contoh isolasi DNA tanaman dengan menggunakan Kit Nucleon Phytopure yang disajikan pada Gambar 3. 



Gambar 3. Bagan isolasi DNA dengan menggunakan kit phytopure. 
Klik gambar untuk memperbesar.



Penulis: Mh Badrut Tamam

Referensi:
  1. Ausubel, F. M. et al. 2003. Current Protocols in Molecular Biology. 
  2. Bettelheim & Landesberg. 2007. Laboratory experiments for general organic and biochemistry. 
  3. Clark, Melody S. 1997. Plant Molecular Biology : A laboratory manual.
  4. Dolphin, W. D. 2008. Biological Investigations. 
  5. Hoelzel, A. R. 1992. Molecular Genetic Analysis of Populations. 
  6. Holme, D. J. & Hazel P. 1998. Analytical Biochemistry.
  7. Karp, Gerald. 2008. Cell and Molecular Biology.
  8. Keller, G. H. & Mark M. M. 1989. DNA probes. 
  9. Khosravinia, H. & Ramesha, K. P. 2007. Influence of EDTA and magnesium on DNA extraction from blood samples and specificity of polymerase chain reaction. African Journal of Biotechnology 6 (3), pp. 184-187
  10. Surzycki, S. 2000. Basic techniques in molecular biology.
  11. Switzer. 1999. Experimental biochemistry. 
  12. Verkuil, E. v. P., Alex van B., & John P. H. 2008. Principles and technical aspects of PCR amplification. 
  13. Walker, J. M. & Ralph R. 2008. Molecular Biomethods Handbook. 

Mh Badrut Tamam

Mh Badrut Tamam

Lecturer
Science Communicator
Governing Board of Generasi Biologi Indonesia Foundation

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Arsip

Kategori

Kategori

Arsip

LAINNYA
x