Rekayasa Genetika dan Permasalahan Etika, Legal, dan Sosial (ELSI)

13 minutes reading
Wednesday, 24 Feb 2016 16:13 0 3228 Mh Badrut Tamam

Produk dan teknologi rekayasa genetik dianggap merupakan sebuah solusi yang memiliki prospek yang baik dalam menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan manusia yang semakin meningkat, khususnya pada sektor agrikultur. Teknologi rekayasa genetik telah mampu menciptakan tanaman-tanaman transgenik dengan sifat-sifat baru yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan produksinya. Penerapan teknologi rekayasa genetik selain menimbulkan harapan di sisi lain juga menimbulkan pertentangan dan kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya dalam masalah penggunaan organisme transgenik/Genetically Modified Organism (GMO). Permasalahan yang timbul meliputi wilayah etik, legal, dan sosial. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih jauh agar teknologi rekayasa genetik dan produknya, yaitu GMO dapat dikembangkan lebih baik lagi untuk kepentingan bersama.

 Status Global Penelitian dan Pengembangan Tanaman Transgenik
            Penggunaan dan komersialisasi tanaman transgenik telah meningkat dengan pesat belakangan ini. Lebih dari 15 negara yang telah menjadi negara yang memproduksi produk-produk hasil tanaman transgenik, yang secara jumlah dan total luas area semakin meningkat setiap tahunnya. Total area yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman transgenik secara global mencapai lebih dari 80 juta hektar pada tahun 2004 (Watanabe, et. al., 2005). Tanaman transgenik yang ditumbuhkan terdiri dari kedelai, jagung, canola, kapas, padi, dan beberapa tanaman lainnya. Selain sebagai pemenuhan kebutuhan domestik, produk-produk hasil tanaman transgenik ini juga menjadi komoditi ekspor sebagai makanan, makanan ternak, dan bahan baku industri.
            Idealnya tanaman transgenik dianggap sebagai sebuah cara yang tepat untuk meningkatkan produksi pertanian yang berkesinambungan dengan memperhatikan aspek kesehatan manusia. Penggunaan tanaman transgenik diharapkan dapat mengubah sistem pertanian yang mengandalkan bahan kimia menjadi sistem pertanian yang lebih alami dengan mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia. Selain itu penumbuhan tanaman transgenik diperkirakan hanya membutuhkan biaya produksi yang rendah untuk menghasilkan produk yang maksimal sehingga dapat menurunkan biaya penjualan. Biaya produksi dan biaya penjualan yang rendah dianggap sebagai solusi bersama yang terbaik bagi produsen dan konsumen. Oleh karena itu penelitian dan pengembangan tanaman transgenik terus dilakukan untuk menghasilkan produk-produk yang lebih baik. Namun untuk menerapkan atau menggunakan tanaman transgenik secara massal diperlukan uji lapangan untuk menilai hasil dan resiko yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan tanaman transgenik tersebut. Masalahnya di beberapa negara seperti Jepang, uji lapangan ini ditentang oleh sekelompok masyarakat dan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kekhawatiran dan ketakutan terhadap dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh tanaman transgenik (Watanabe, et. al., 2005).
            Beberapa pengujian lapangan yang telah dilakukan di beberapa negara berkembang, terutama di negara-negara Eropa menunjukkan hasil bahwa secara umum penggunaan tanaman transgenik secara massal aman terhadap lingkungan dan biosafety. Inggris telah melakukan evaluasi terhadap skala pertanian yang tepat dengan melibatkan petani-petani lokal dan kelompok lainnya. Prancis dan Italia juga telah banyak melakukan uji lapangan untuk keperluan komersialisasi produk hasil tanaman transgenik. Negara-negara sedang berkembang seperti Brazil, Argentina, Meksiko, dan Afrika Selatan juga mulai banyak melakukan uji-uji lapangan untuk memastikan keamanan penggunaan tanaman transgenik (Watanabe, et. al., 2005). Meskipun cenderung aman, tanaman transgenik banyak ditentang oleh kelompok-kelompok tertentu karena kurangnya komunikasi publik yang menimbulkan kesalahan persepsi publik terhadap tanaman transgenik dan produknya. Hal ini tidak terlepas dari kecenderungan para peneliti yang kurang memberi perhatian terhadap implikasi etik, legal, dan sosial (ELSI) terkait hasil penelitian dan pengembangannya. Karena itu perlu kiranya dikaji persoalan ELSI terkait tanaman transgenik di masyarakat untuk menyatukan persepsi berbagai pihak.

Implikasi Etik, Legal, dan Sosial (ELSI) Tanaman Transgenik

Implikasi Aspek Etik
            Perdebatan mengenai aspek etik yang bersinggungan dengan pembuatan GMO didasari atas 2 aspek kepentingan, yaitu aspek intrinsik dan aspek ekstrinsik. Aspek intrinsik berdasarkan atas pendapat utama bahwa pembuatan GMO merupakan suatu proses yang tidak alami. Aspek intrinsik berkaitan dengan kepercayaan bahwa proses pembuatan GMO itu sendiri tidak bisa ditoleransi karena dianggap mencampuri atau menganggu proses yang alami. Ada 4 pendapat utama dalam aspek intrinsik yang menolak keberadaan dan penggunaan GMO (Bhumiratana & Kongsawat, 2008).
            Pendapat yang pertama menyatakan bahwa mengubah kodrat makhluk hidup melalui teknik rekayasa genetik sama dengan mencoba berperan sebagai Tuhan. Pendukung pendapat ini menyatakan bahwa rekayasa genetik adalah proses yang menganggu proses alami, yang merupakan kekuasaan Tuhan dan rekayasa genetik dianggap tidak etis. Para peneliti yang pro dengan teknologi rekayasa genetik beranggapan bahwa pendapat ini tidak rasional. Menurut peneliti produk rekayasa genetik justru bisa mengembalikan sistem pertanian ke arah yang lebih alami. GMO diklaim mampu menurunkan penggunaan zat-zat kimia, meningkatkan biodiversitas, bahkan mampu meregenerasi lahan bekas pertanian menjadi lahan dengan vegetasi alami.
            Pendapat kedua menyatakan rekayasa genetik dan teknologi baru dapat mengubah alam dan dunia yang merupakan hak mutlak milik Tuhan. Pendapat ketiga menyatakan rekayasa genetik telah mengaburkan konsep spesies dan menghilangkan batas antar spesies dengan memindahkan gen dari spesies satu ke spesies lainnya. Pendapat terakhir berkaitan dengan rekayasa genetik membuat organisme-organisme yang mengalami transfer gen menderita. Secara umum dapat disimpulkan bahwa aspek intrinsik berakar dari egosentrisme dan fanatisme pribadi yang berasal dari etika agama dan kepercayaan sehingga aspek intrinsik ini sulit untuk diubah.
            Aspek yang kedua adalah aspek ekstrinsik yang didasarkan pada potensi bahaya dan kerusakan yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan GMO (Bhumiratana & Kongsawat, 2008). Dampak negatif yang dikhawatirkan publik mengenai penggunaan GMO salah satunya adalah dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Tanaman transgenik dikhawatirkan dapat mengkontaminasi lingkungan dengan melakukan persilangan dengan individu non-transgenik sehingga dapat merusak diversitas genetis. Produk hasil GMO, terutama yang ditujukan untuk dikonsumsi manusia dikhawatirkan dapa menimbulkan reaksi alergis dan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsinya. Dampak lain yang dikhawatirkan adalah masalah pasar. Petani-petani skala kecil dikhawatirkan akan tersisihkan oleh pertanian skala besar yang mampu menggunakan tanaman transgenik dan harga pasar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh perusahan-perusahaan yang menghasilkan tanaman transgenik. Dengan demikian terjadi kekhawatiran akan terjadinya situasi yang menguntungkan pihak yang besar/berkuasa dan mematikan pihak-pihak yang kecil. Solusi yang dianggap terbaik untuk menjawab masalah aspek ekstrinsik ini adalah dengan memberlakukan peraturan-peraturan terkait penggunaan dan pengembangan GMO yang dapat menghindarkan resiko terjadinya kerusakan lingkugan, kesehatan manusia, dan perekonomian akibat penerapan GMO.
Implikasi Aspek Legal
            Usaha pencegahan munculnya dampak negatif dari penerapan GMO dapat dilakukan dengan menerapkan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pengelolaan dan penggunaan GMO. Kekhawatiran akan hilangnya biodiversitas akibat terjadinya pencampuran antara GMO dan organisme non transgenik telah menimbulkan diskusi-diskusi berskala internasional untuk mengurangi resiko terjadinya hal tersebut. Peraturan internasional yang kemudian mengatur mengenai masalah penerapan GMO terhadap biosafety dikenal dengan nama Cartagena Protocol on Biosafety. Lebih dari 120 negara ikut berpartisipasi dalam Cartagena Protocol on Biosafety (Watanabe, et. al., 2005).
            Cartagena Protocol on Biosafety memiliki tujuan untuk memastikan keamanan mekanisme transfer, pengelolaan, dan penggunaan GMO yang merupakan hasil dari penerapan bioteknologi yang mungkin dapat mengakibatkan dampak buruk bagi konservasi dan penggunaan biodiversitas secara berkesinambungan, dan resiko terhadap kesehatan manusia sebagaimana tercantum dalam artikel 1 dari Cartagena Protocol on Biosafety (Secretariat of the Convention on Biological Diversity, 2000). Cartagena Protocol on Biosafety secara khusus difokuskan untuk mengatur prosedur perpindahan GMO lintas negara. Prosedur-prosedur tersebut tercantum di dalam 40 artikel yang dijelaskan oleh 3 annexes.
            Cartagena Protocol on Biosafety hanya memberikan pedoman dasar dalam proses perpindahan GMO lintas negara tanpa memberikan pengaturan mengenai prosedur-prosedur detail dalam hak kepemilikan, izin penggunaan dan komersialisasi, monitoring, uji lapangan, maupun ganti rugi/tanggungjawab bila terjadi dampak negatif. Peraturan detail yang mengatur tentang semua prosedur tersebut diserahkan pada peraturan masing-masing negara yang harus dilandaskan dengan isi Cartagena Protocol on Biosafety. Menurut Watanabe, et. al. (2005), salah satu negara yang telah menerapkan peraturan khusus ini sejak tahun 2004 adalah Denmark. Pemerintah Denmark membuat hukum yang mengatur mengenai sistem perizinan dalam menumbuhkan tanaman transgenik, prosedur isolasi jarak aman yang telah dianalisis dan disetujui secara ilmiah, serta peraturan yang memuat posedur pertanggungjawaban terhadap kerusakan yang mungkin ditimbulkan sebagai akibat pencampuran antara tanaman transgenik dengan tanaman non-transgenik.
            Penerapan peraturan-peraturan tersebut harus disesuaikan dengan tujuannya. Untuk tujuan penelitian dan pengembangan diharapkan penerapan peraturan dapat diatur lebih ringan agar dapat memacu perkembangan teknologi yang lebih baik dan lebih cepat tanpa harus terlalu terbatasi dengan peraturan. Sedangkan untuk tujuan komersialisasi, peraturan harus diperketat karena menyangkut kepentingan dan keselamatan orang banyak. Dalam komersialisasi tanaman transgenik dan produk-produknya dibutuhkan tinjauan yang lebih mendalam meliputi monitoring, risk management scheme, evaluasi, dan  prosedur ganti rugi bila terjadi dampak negatif akibat penggunaan tanaman transgenik tersebut (Watanabe, et. al., 2005).
            Intelectual Property Right (IPR) diperlukan untuk menjaga persaingan yang sehat dalam penelitian dan pengembangan serta komersialisasi tanaman transgenik. IPR dapat berupa pembelian paten terhadap suatu produk atau teknologi rekayasa genetik ataupun berupa insentif bagi pemilik paten untuk setiap akses atau penggunaan produk atau teknologi yang dipatenkan. Selain manfaatnya, penerapan IPR ini juga memiliki sisi kontroversi yaitu pertanyaan apakah organisme hidup merupakan objek yang layak/pantas untuk dipatenkan.

Implikasi Aspek Sosial
            Persepsi publik merupakan suatu hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha mengintegrasikan teknologi rekayasa genetik dan produk-produknya dalam kehidupan sosial masyarakat. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Latifah et. al. (2011) mengenai persepsi publik daerah Klang Valley, Malaysia terhadap tanaman transgenik, persepsi publik terhadap teknologi rekayasa genetik dan tanaman transgenik sebagai salah satu produknya cenderung negatif. Baik berdasarkan kelompok umur, kelompok tingkat pendidikan, dan kelompok pekerjaan, secara umum dapat disimpulkan bahwa publik Klang Valley tidak banyak mengetahui mengenai teknologi rekayasa genetik, namun mereka cenderung menolak penerapan dan penggunaan tanaman tarnsgenik.
            Kesalahan persepsi publik mengenai teknologi rekayasa genetik dan produknya ini merupakan hambatan sosial utama dalam penerapan tanaman transgenik sebagai sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Menurut Watanabe, et. al. (2005), kesalahan persepsi ini diakibatkan oleh kurangnya pendidikan dan komunikasi publik mengenai teknologi rekayasa genetik. Persepsi negatif ini menimbulkan banyak dampak buruk lainnya, diantaranya publik merasa tidak aman dengan keberadaan tanaman transgenik di sekitar mereka, NGO mempengaruhi pemerintah-pemerintah daerah sehingga mempersulit regulasi tanaman transgenik, serta munculnya aktivitas-aktivitas kelompok tertentu yang menekan organisasi-organisasi pemerintah untuk menghentikan penelitian dan pengembangan tanaman transgenik. Banyak kabar-kabar negatif yang salah yang disebarkan oleh kelompok ataupun NGO tertentu yang memperparah kesalahan persepsi publik. Contohnya kasus gosip persebaran canola transgenik yang menyerbuki canola normal yang tumbuh di tepian jalan layang yang ternyata tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Solusi yang harus dilakukan untuk meluruskan kesalahan persepsi publik adalah dengan memberikan pendidikan dan komunikasi publik mengenai rekayasa genetik dan menciptakan peraturan-peraturan yang tegas dan jelas mengenai penerapan teknologi rekayasa genetik beserta produk-produknya.
Kontroversi Tanaman Transgenik
            Potensi tanaman transgenik sebagai solusi untuk meningkatkan produksi sektor agrikultur sudah tidak bisa diragukan, namun pada praktiknya tanaman transgenik yang dikembangkan adalah produk yang dapat memberikan keuntungan besar kepada perusahaan-perusahaan pengembang biotech. Idealnya pengembangan tanaman transgenik dapat diarahkan untuk menghasilkan tanaman transgenik yang tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan yang tidak optimal dan dapat diakses oleh petani dari semua tingkat. Kenyataan yang terjadi justru tanaman transgenik hanya dapat diterapkan pada pertanian skala besar dan menyulitkan pertanian skala kecil. Fenomena ini disebabkan oleh kecenderungan perusahaan-perusahaan pengembang biotech mengembangkan tanaman transgenik yang mendukung penjualan produk-produk dari perusahaan tersebut.
            Salah satu contoh kasus yang terjadi adalah pengembangan tanaman transgenik oleh perusahaan biotech Monsanto dan Novartis yang menghasilkan tanaman transgenik yang disebut “Round-Up Ready”. Tanaman transgenik ini memiliki resistensi terhadap herbisida “Round-Up”, produk herbisida yang diproduksi oleh perusahaan yang sama. Perusahaan mengklaim penggunaan tanaman transgenik ini akan menurunkan tingkat penggunaan herbisida. Namun berdasarkan hasil-hasil studi yang dinyatakan oleh Mehta & Gair (2001), penggunaan tanaman-tanaman transgenik ini menimbulkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan.
            Penggunaan tanaman transgenik Round-Up Ready di New South Wales, Australia, telah mengakibatkan spesies rumput liar memunculkan kemampuan resistensi terhadap herbisida. Berdasarkan hasil studi, ditemukan bahwa Ryegrass (Lolium sp.), salah satu spesies rumput liar Australia, menjadi resisten terhadap herbisida sehingga untuk membasminya diperlukan penggunaan herbisida dengan kadar 5 kali lipat dari kadar normalnya (Mehta & Gair, 2001). Hal ini menunjukkan kenyataan yang berlawanan dari klaim perusahaan, yaitu yang terjadi adalah penggunaan herbisida meningkat bersamaan dengan penggunaan tanaman transgenik.
            Contoh lainnya adalah penggunaan tanaman transgenik yang menghasilkan bt-toksin, racun serangga spesifik yang secara alami dihasilkan oleh bakteri tanah Bacillus thuringiensis. Kentang bt yang yang resisten terhadap kumbang kentang Colorado (Leptinotarsa decemlineata) justru telah memicu munculnya kemampuan resistensi kumbang tersebut dan 7 spesies serangga hama lainnya terhadap bt-toxin. Selain itu beberapa tanaman transgenik bt dapat membunuh serangga-serangga yang bukan merupakan targetnya. Hal ini karena bt-toxin yang dihasilkan oleh tanaman transgenik ternyata memiliki beberapa perbedaan sifat dengan bt-toxin alami, yaitu bt-toxin yang dihasilkan tanaman transgenik langsung aktif begitu dilepaskan di lingkungan, sementara bt-toxin alami baru akan aktif saat berada di dalam perut serangga. Salah satu kasus pemusnahan serangga non-target adalah pollen dari jagung bt yang mematikan larva kupu-kupu Monarch (Danaus plexippus) yang bukan merupakan spesies hama (Mehta & Gair, 2001).
            Kontroversi lainnya yang disebabkan oleh penerapan tanaman transgenik adalah paten yang dimiliki oleh perusahaan Delta and Pine Land, anak perusahaan dari Monsanto, mengenai teknologi yang disebut “terminator seed”. Teknologi ini menghasilkan tanaman transgenik steril, sehingga untuk siklus penanaman berikutnya petani harus membeli benih yang baru. Perusahaan mengklaim teknologi ini bermanfaat agar kualitas tanaman dapat terus ditingkatkan dan petani tidak menggunakan benih yang berkualitas buruk. Namun pada kenyataannya petani skala kecil, khususnya di negara sedang berkembang, memiliki penghasilan yang kecil sehingga benih yang digunakan untuk siklus berikutnya adalah benih yang disimpan sebagai hasil dari siklus sebelumnya. Hal ini justru mengakibatkan produksi di siklus berikutnya menurun dan kualitasnya berkurang. Bila paten ini tetap diterapkan, khususnya pada tanaman-tanaman pangan seperti gandum, padi, sorgum, dan kedelai, maka yang akan terjadi adalah pertanian skala besar yang mampu membeli teknologi ini akan mematikan usaha pertanian skala kecil dan menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit. Oleh karena itu paten ini tidak pernah diterapkan, bahkan di India teknologi ini telah ditolak untuk melindungi petani-petani lokal dan keamanan pangannya (Mehta & Gair, 2001).


Kesimpulan

Teknologi rekayasa genetik dan produknya, tanaman transgenik, tidak bisa dipungkiri memiliki potensi yang sangat menjanjikan sebagai solusi untuk meningkatkan produksi pertanian sebagai sumber daya pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan mengintroduksi gen-gen tertentu tanaman transgenik dapat memiliki ketahanan terhadap kondisi lingkungan dan serangan hama, juga dapat mengalami pengayaan nutrisi. Namun bagaimanpun juga teknologi rekayasa genetik dan tanaman transgenik banyak mendapatkan tentangan dari publik terkait masalah etik, legal, dan sosial yang mengarah kepada munculnya kontroversi dan pertanyaan apakah teknologi ini layak dikembangkan dan diterapkan atau harus dihentikan. Untuk mengatasi kesalahan persepsi publik yang terjadi perlu dilakukan komunikasi publik yang mencakup pengertian dan pendidikan yang “benar” mengenai teknologi rekayasa genetik dan tanaman transgenik. Selain itu untuk memastikan keamanan lingkungan dari dampak buruk yang mungkin ditimbulkan akibat penerapan tanaman transgenik diperlukan regulasi khusus yang mengatur mengenai pengembangan, penggunaan, dan pengelolaan produk hasil rekayasa genetik secara aman.
Mh Badrut Tamam

Mh Badrut Tamam

Lecturer
Science Communicator
Governing Board of Generasi Biologi Indonesia Foundation

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

    Arsip

    Kategori

    Kategori

    Arsip

    LAINNYA
    x