Tidur adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Tidur juga merupakan bentuk istirahat terbaik setelah menyelesaikan tugas yang menumpuk. Tidak jarang dari kita yang melakukan ritual hibernasi dengan tidur berjam-jam sebagai bentuk self-reward. Namun, bukannya merasa segar setelah tidur panjang, tak jarang kepala justru terasa pening. Fenomena ini dinamakan Hipersomnia. Lho, mengapa hal ini terjadi? Sebelum mencari tahu penyebabnya, mari kita kenali dahulu terkait kegiatan tidur ini.
Tahapan Tidur dan Pengaturan Waktu Tidur
Tidur tidak sebatas memejamkan mata dan langsung pulas. Ada faktor yang memberikan sinyal bagi tubuh untuk beristirahat di waktu tertentu. Faktor ini merupakan irama sirkadian. Berdasarkan etimologinya, Circadian berasal dari kata “Circa = kira-kira” dan “Dies = satu hari”. Irama sirkadian adalah ritme waktu yang mengatur irama tubuh sesuai dengan rotasi bumi dalam 24 jam.
Pengaturan irama sirkadian berkaitan dengan penerimaan cahaya dari lingkungan. Cahaya lalu diteruskan melalui Retinohypothalamic Trac (RHT), menuju ke suprachiasmatic nuclei (SCN). SCN kemudian akan memicu sinyal saraf dan humoral yang penting dalam menyelaraskan irama sirkadian.
Kondisi lingkungan minim cahaya akan mendorong produksi hormon melatonin secara masif. Oleh karenanya, umumnya produksi melatonin terjadi antara pukul 20.00 dan 22.00, dan mencapai kadar puncak (100 – 200 pg/mL) antara pukul 00.00 dan 03.00. Kadar melatonin yang meningkat ini merupakan sinyal bagi jaringan dan organ tubuh untuk beristirahat dan mengatur metabolisme.
Sinyal tersebut lantas akan membawa kita ke fase awal tidur yang disebut Non-Rapid Eye Movement (NREM), dan terbagi menjadi 4 tahapan:
- Pada 3-5 menit awal, kelopak mata tertutup, namun bola mata masih tampak bergerak ke kiri dan kanan. Pada saat itu, masih mudah untuk terjaga.
- Bola mata mulai diam dan tonus otot terus berkurang
- Tidur menjadi lebih lelap dibandingkan fase sebelumnya
- Tidur menjadi sangat dalam dan susah untuk terjaga
Fase NREM kemudian berlanjut ke fase Rapid Eye Movement (REM). Pada fase ini, tonus otot berada pada tingkat sangat renfah dan bola mata bergerak cepat.
Nah, ketika kita tertidur bukan berarti organ tubuh kita berhenti bekerja. Saat itu, sistem hormonal akan memusatkan energi tubuh untuk perbaikan dan pertumbuhan. Sel akan bekerja lebih keras untuk mengatasi gangguan dan kerusakan pada sistem tubuh. Oleh karenanya, orang yang memiliki tidur yang cukup cenderung memiliki kemampuan mencegah penyakit yang lebih baik.
Jika tidur memiliki manfaat sebegitu baiknya, bukankah tidur dalam waktu yang lebih lama juga akan lebih baik khasiatnya? Sayangnya, segala sesuatu yang berlebihan itu justru dapat berdampak tidak baik. Mari simak lebih lanjut terkait masalah ini.
Hipersomnia dan Sakit Kepala yang menyertainya
Gangguan pola tidur tidak melulu soal insomnia. Beberapa orang justru terjebak dalam tidur yang berlebihan dan rasa kantuk yang tak tertahankan, sehingga sulit untuk beraktivitas secara produktif di pagi hari. Hipersomnia namanya. Gangguan ini bisa terjadi pada penderita depresi atau kecemasan, atau dapat pula terjadi karena waktu tidur yang berubah secara konstan sehingga irama sirkadian tidak lagi normal.
Berbeda dengan siklus tidur-bangun pada umumnya, melatonin yang semestinya berkurang pada pagi hari akan tetap tinggi pada kasus hipersomnia. Peningkatan produksi melatonin secara kontinu akan menyebabkan konversi terus-menerus serotonin menjadi melatonin. Gambar di atas menunjukkan proses produksi melatonin, yang mengilustrasikan potensi hubungan terbalik antara kadar melatonin dan serotonin dalam tubuh.
Ketidakstabilan hormon-hormon ini, akan berdampak pada rasa kantuk yang memicu penurunan produktivitas seseorang. Rasa kantuk yang berat timbul karena produksi hormon melatonin yang berlebih. Sementara itu, serotonin terlibat dalam pengaturan suasana hati. Tidak hanya itu, serotonin yang terlalu rendah juga berkaitan dengan kasus sakit kepala seperti migrain.
Patofisiologi migrain menunjukkan kelainan yang berasal dari keterlibatan struktur anatomi neurovaskular kranial. Rendahnya kadar serotonin akan menyebabkan vasodilatasi (pelebaran pembuluh darah) intrakranial dan ekstrakranial yang berdampak pada sakit kepala. Selain itu, pengaruh serotonin terhadap nyeri kepala juga berkaitan dengan gangguan transduksi sinyal dan gangguan regulasi persepsi nyeri.
Sebagai kebutuhan dasar manusia, tidur memang punya dampak sebesar itu. Oleh karenanya, penting untuk mengatur pola tidur yang tepat, tidak berlebihan ataupun kekurangan.
Referensi:
[1]. Ambarwati, R. (2017). Tidur, irama sirkardian dan metabolisme tubuh. Jurnal keperawatan, 10(1), 42-46.
[2]. De, C. C., & Tam, H. (2022). Unconventional Therapy on Headache from Anatomy and Physiology Standpoint. Journal of Asian Multicultural Research for Medical and Health Science Study, 3(2), 35-41.
[3]. Gasparini, C. F., Smith, R. A., & Griffiths, L. R. (2017). Genetic and biochemical changes of the serotonergic system in migraine pathobiology. The journal of headache and pain, 18, 1-24.
[4]. Liu, Y., Zhao, J., Fan, X., & Guo, W. (2019). Dysfunction in serotonergic and noradrenergic systems and somatic symptoms in psychiatric disorders. Frontiers in psychiatry, 10, 286.
[5]. Muhammad, W. I., & Wulandari, P. (2023). Neurotransmitter Related Idiopathic Hypersomnia. Scientia Psychiatrica, 4(3), 424-429.
[6]. Poza, J. J., Pujol, M., Ortega-Albás, J. J., & Romero, O. (2022). Melatonin in sleep disorders. Neurología (English Edition), 37(7), 575-585.
Leave a Reply